Strategi Nasional Penelitian Agroforestry 2013-2030
Tim penyusun:
(1) Dr. Dede Rohadi; (2) Dr. Tuti Herawati; (3) Nugraha Firdaus, S.Hut, M.Env.
(4) Ir. Retno Maryani, M.Sc.; (5) Dr. Pipin Permadi
Tim ahli:
(1) Prof. Sambas Sabarnurdin; (2) Prof. Haryadi Kartodihardjo;
(3) Prof. Nurheni Widjayanto; (4) Dr. Ngaloken Gintings;
(5) Dr. Boen M. Purnama; (6) Dr. Christin Wulandari; (7) Dr. Budiadi
Reviewer:
(1) Dr. Yeti Rusli; (2) Dr. Ujjwal Pradhan
© 2013 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Agroforestry (agroforestri atau wanatani) sudah sejak lama dipraktikkan oleh masyarakat di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa agroforestri sudah lahir sejak manusia beralih tradisi dari berburu ke bercocok tanam. Menurut catatan, penggunaan pekarangan untuk bercocok tanam sudah dikenal sejak 7000 tahun SM yang pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai agroforestri (BPDAS Pemali Jratun 2010). Praktek agroforestri telah dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia, dengan berbagai karakteristik dan ciri khas masing-masing. Sistem usaha tani ini di Indonesia dikenal dengan berbagai model dan nama lokal, seperti “parak” di Maninjau, Sumatera Barat; “pelak” di Kerinci, Jambi; “repong damar” di daerah Krui, Lampung; “tembawang” di Kalimantan Barat; “simpukng” dan “kebun” di Kalimantan Timur; “talun” atau “dudukuhan” di Jawa Barat; “wono” dan “kitren” di Jawa Tengah; “tenganan” di Bali dan “amarasi” di wilayah Nusa Tenggara Timur (de Foresta et al. 2000; Sardjono et al. 2003). Gambar 1 memperlihatkan berbagai istilah praktek agroforestri tersebut pada berbagai tipe hutan berdasarkan fungsi yang terdapat di Indonesia.
Lihat Ebook Klik disini
Sumber: http://www.forda-mof.org/