UU Tentang Sistem budidaya tanaman No.12 th 1992


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 1992
TENTANG
SISTEM BUDIDAYA TANAMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : 1. bahwa sumberdaya alam nabati yang jenisnya beraneka
ragam dan mempunyai peranan penting bagi kehidupan
adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa; oleh karena itu
perlu dikelola dan dimanfaatkan secari lestari, selaras,
serasi, dan seimbang bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat;
2. bahwa sistem pembangunan yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan perlu ditumbuhkembangkan
dalam pembangunan pertanian secara menyeluruh dan
terpadu;
3. bahwa pertanian maju, efisien, dan tangguh mempunyai
peranan yang penting dalam pencapaian tujuan
pembangunan nasional, yaitu terciptanya masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945;
4. bahwa sistem budidaya tanaman yang merupakan bagian
dari pertanian perlu dikembangkan sejalan dengan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia untuk
mewujudkan pertanian maju, efisien, dan tangguh;
5. bahwa peraturan perundang-undangan yang saat ini
masih berlaku, baik yang merupakan produk hukum
warisan pemerintah kolonial maupun produk hukum
nasional, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
hukum dan kepentingan nasional sehingga perlu dicabut;
6. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas
dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang sistem
budidaya tanaman dalam suatu Undang-Undang;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-
Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun
1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2043);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun
1967 Nomor 8 Tambahan Lembaran Negara Nomor
2823);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokokpokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun
2
1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3037);
5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang
Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
((Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3215);;
7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3419);;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM BUDIDAYA TANAMAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Sistem budidaya tanaman adalah sistem pengembangan dan
pemanfaatan sumberdaya alam nabati melalui upaya manusia yang
dengan modal, teknologi, dan sumberdaya lainnya menghasilkan barang
guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik;
2. Plasma nutfah adalah substansi yang terdapat dalam kelompok makhluk
hidup, dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan
dan dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan jenis unggul atau
kultivar baru;
3. Pemuliaan tanaman adalah rangkaian kegiatan untuk mempertahankan
kemurnian jenis dan/atau varietas yang sudah ada atau menghasilkan
jenis dan/atau varietasbaru yang lebih baik;
4. Benih tanaman yang selanjutnya disebut benih, adalah tanaman atau
bagiannya yang digunakan untuk memperbanyak dan/atau
mengembangbiakkan tanaman;
5. Varietas adalah bagian dari suatu jenis yang ditandai oleh bentuk
tanaman, pertumbuhan, daun, bunga, buah, biji, dan sifat-sifat lain yang
dapat dibedakandalam jenis yang sama;
6. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat benih tanaman setelah
melalui pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan serta memenuhi
semua persyaratan untuk diedarkan;
3
7. Perlindungan tanaman adalah segala upaya untuk mencegah kerugian
pada budidaya tanaman yang diakibatkan oleh organisme pengganggu
tumbuhan;
8. Organisme pengganggu tumbuhan adalah semua organisme yang dapat
merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian
tumbuhan;
9. Eradikasi adalah tindakan pemusnahan terhadap tanaman, organisme
pengganggu tumbuhan, dan benda lain yang menyebabkan tersebarnya
organisme pengganggu tumbuhan di lokasi tertentu;
10. Pupuk adalah bahan kimia atau organisms yang berperan dalam
penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung atau
tidak langsung;
11. Pestisida adalah zat atau senyawa kimia, zat pengatur dan perangsang
tumbuh, bahan lain, serta organisme renik, atau virus yang digunakan
untuk melakukan perlindungan tanaman.
Pasal 2
Sistem budidaya tanaman sebagai bagian pertanian berasaskan manfaat,
lestari, dan berkelanjutan.
Pasal 3
Sistem budidaya tanaman bertujuan:
a. meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman,
gunamemenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri
dalam negeri dan memperbesar ekspor.
b. meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani;
c. mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan
kesempatan kerja.
Pasal 4
Ruang lingkup sistem budidaya tanaman meliputi proses kegiatan produksi
sampai dengan pascapanen.
BAB II
PERENCANAAN BUDIDAYA TANAMAN
Pasal 5
1. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Pemerintah:
a. menyusun rencana pengembangan budidaya tanaman sesuai
dengan tahapan rencana pembangunan nasional;
b. menetapkan wilayah pengembangan budidaya tanaman;
c. mengatur produksi budidaya tanaman tertentu berdasarkan
kepentingan nasional;
d. menciptakan kondisi yang menunjang peranserta masyarakat.
2. Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Pemerintah memperhatikan kepentingan masyarakat.
4
Pasal 6
1. Petani memiliki kebebasan untuk menentukaii pilihan jenis tanaman dan
perribudidayaannya.
2. Dalam menerapkan kebebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
petani berkewajiban berperanserta dalam mewujudkan rencana
pengembangan dan produksi budidaya tanaman, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5.
3. Apabila pilihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak dapat
terwujud karena ketentuan Pemerintah, maka Pemerintah berkewajiban
untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan memperoleh
jaminan penghasilan tertentu.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PENYELENGGARAAN BUDIDAYA TANAMAN
Bagian Kesatu
Pembukaan dan Pengolahan Lahan, dan Penggunaan Media Tumbuh
Tanaman
Pasal 7
1. Setiap orang atau badan hukum yang membuka dan mengolah lahan
dalam luasan tertentu untuk keperluan budidaya tanaman wajib
mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya kerusakan
lingkungan hidup.
2. Setiap orang atau badan hukum yang menggunakan media tumbuh
tanaman untuk keperluan budidaya tanaman wajib mengikuti tata cara
yang dapat mencegah timbulnya pencemaran lingkungan.
3. Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Bagian Kedua
P e r b e n i h a n
Pasal 8
Perolehan benih bermutu untuk pengembangan budidaya tanaman
dilakukan melalui kegiatan penemuan varietas unggul dan/atau introduksi
dari luar negeri.
Pasal 9
1. Penemuan varietas unggul dilakukan melalui kegiatan pemuliaan
tanaman.
2. Pencarian dan pengumpulan plasma nutfah dalam rangka pemuliaan
tanaman dilakukan oleh Pemerintah.
5
3. Kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), dapat dilakukan oleh perorangan atau badan
hukum berdasarkan izin.
4. Pemerintah melakukan pelestarian plasma nutfah bersama
masyarakat.
5. Ketentuan mengenai tata cara pencarian, pengumpulan, dan
pelestarian plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 10
1. Introduksi dari luar negeri dilakukan dalam bentuk benih atau materi
induk untuk pemuliaan tanaman.
2. Introduksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan oleh
Pemerintah dan dapat pula dilakukan oleh perorangan atau badan
hukum.
3. Ketentuan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
Setiap orang atau badan hukum dapat melakukan pemuliaan tanaman
untuk menemukan varietas unggul.
Pasal 12
1. Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum
diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah.
2. Varietas hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilarang diedarkan.
3. Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelepasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
1. Benih dari varietas unggul yang telah dilepas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal12 ayat (1), merupakan benih bina.
2. Benih bina yang akan diedarkan harus melalui sertifikasi dan
memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
3. Benih bina yang lulus sertifikasi apabila akan diedarkan wajib diberi
label.
4. Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara sertifikasi dan
pelabelan benih bina diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Pasal 14
1. Sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), dilakukan
oleh Pemerintah dan dapat pula dilakukan oleh perorangan atau badan
hukum berdasarkan izin.
2. Ketentuan mengenai persyaratan dan perizinan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
6
Pasal 15
Pemerintah melakukan pengawasan terhadap pengadaan dan peredaran
benih bina.
Pasal 16
Pemerintah dapat melarang pengadaan, peredaran, dan penanaman benih
tanaman tertentu yang merugikan masyarakat, budidaya tanaman,
sumberdaya alam lainnya, dan/atau lingkungan hidup.
Bagian Ketiga
Pengeluaran dan Pemasukan Tumbuhan dan Benih Tanaman
Pasal 17
1. Pemerintah menetapkan jenis tumbuhan yang pengeluaran dari
dan/atau pemasukannya ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia
memerlukan izin.
2. Pengeluaran benih dari atau pemasukannya ke dalam wilayah negara
Republik Indonesia wajib mendapatkan izin.
3. Pemasukan benih dari luar negeri harus memenuhi standar mutu benih
bina.
Bagian Keempat
Penanaman
Pasal 18
1. Penanaman merupakan kegiatan menanamkan benih pada petanaman
yang berupa lahan atau media tumbuh tanaman.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditujukan untuk
memperoleh tanaman dengan pertumbuhan optimal guna mencapai
produktivitas yang tinggi.
3. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
penanaman harus dilakukan dengan tepat pola tanam, tepat benih,
tepat cara, tepat sarana, dan tepat waktu pada petanaman siap tanam.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), dapat diatur lebih
lanjut oteh Pemerintah.
Bagian Kelima
Pemanfaatan Air
Pasal 19
1. Pemerintah mengatur dan membina pemanfaatan air untuk budidaya
tanaman.
2. Pemanfaatan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7
Bagian Keenam
Perlindungan Tanaman
Pasal 20
1. Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem pengendalian
hama terpadu.
2. Pelaksanaan perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), menjadi tanggung jawab masyarakat dan Pemerintah.
Pasal 21
Perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
dilakanakan melalui kegiatan berupa :
a. pencegahan masuknya organisme pengganggu tumbuhan ke dalam
dan tersebarnya dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
b. pengendalian organisme pengganggu tumbuhan;
c. eradikasi organisme pengganggu tumbuhan.
Pasal 22
1. Dalam pelaksanaan perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, setiap orang atau badan hukum dilarang
menggunakan sarana dan/atau cara yang dapat mengganggu
kesehatan dan/atau mengancam keselamatan manusia, menimbulkan
gangguan dan kerusakan sumberdaya alam dan/atau lingkungan
hidup.
2. Ketentuan mengenai penggunaan sarana dan/atau cara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Pasal 23
Setiap media pembawa organisme pengganggu tumbuhan yang
dimasukkan ke dalam, dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di
dalam, dan dikeluarkan dari wilayah Negara Republik Indonesia dikenakan
tindakan karantina tumbuhan sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 24
1. Setiap orang atau badan hukum yang memiliki atau menguasai
tanaman harus melaporkan adanya serangan organisme pengganggu
tumbuhan pada tanamannya kepada pejabat yang berwenang dan
yang bersangkutan harus mengendalikannya.
2. Apabila serangan organisme pengganggu tumbuhan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), merupakan eksplosi, Pemerintah
bertanggung jawab menanggulanginya bersama masyarakat.
8
Pasal 25
1. Pemerintah dapat melakukan atau memerintahkan dilakukannya
eradikasi terhadap tanaman dan/atau benda lain yang menyebabkan
tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan.
2. Eradikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan apabila
organisme pengganggu tumbuhan tersebut dianggap sangat
berbahaya dan mengancam keselamatan tanaman secara meluas.
Pasal 26
1. Kepada pemilik yang tanaman dan/atau benda lainnya dimusnahkan
dalam rangka eradikasi dapat diberikan kompensasi.
2. Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan hanya
atas tanaman dan/atau benda lainnya yang tidak terserang organisms
pengganggu tumbuhan tetapi harus dimusnahkan dalam rangka
eradikasi.
Pasal 27
Ketentuan mengenai pengendalian dan eradikasi organisme pengganggu
tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 butir b dan butir c serta
ketentuan mengenai kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26,
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Pemeliharaan Tanaman
Pasal 28
1. Pemeliharaan tanaman diarahkan untuk:
a. menciptakan kondisi pertumbuhan dan produktivitas tanaman yang
optimal;
b. menjaga kelestarian lingkungan;
c. mencegah timbulnya kerugian pihak lain dan atau kepentingan
umum.
2. Dalam pemeliharaan tanaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
setiap orang atau badan hukum dilarang menggunakan sarana dan/atau
cara yang mengganggu kesehatan dan/atau mengancam keselamatan
manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya alam
dan/atau lingkungan hidup.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur lebih lanjut oleh
Pemerintah.
Bagian Kedelapan
P a n e n
Pasal 29
1. Panen merupakan kegiatan pemungutan hasil budidaya tanaman.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditujukan untuk
memperoleh hasil yang optimal dengan menekan kehilangan dan
kerusakan hasil serta menjamin terpenuhinya standar mutu.
9
3. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), panen
harus dilakukan tepat waktu, tepat keadaan, tepat cara, dan tepat
sarana.
4. Dalam pelaksanaan panen sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),
harus dicegah timbulnya kerugian bagi masyarakat dan/atau kerusakan
sumberdaya alam dan/atau lingkungan hidup.
Pasal 30
1. Pemerintah dan masyarakat berkewajiban untuk mewujudkan tujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2).
2. Pemerintah wajib berupaya untuk meringankan beban petani kecil
berlahan sempit yang budidaya tanamannya gagal panen karena
bencana alam.
3. Pemerintah dapat menetapkan pengaturan mengenai panen budidaya
tanaman tertentu.
Bagian Kesembilan
Pascapanen
Pasal 31
1. Pascapanen meliputi kegiatan pembersihan, pengupasan, sortasi,
pengawetan, pengemasan, penyimpanan, standardisasi mutu, dan
transportasi hasil produksi budidaya tanaman.
2. Kegiatan pascapanen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ditujukan untuk meningkatkan mutu, menekan tingkat kehilangan
dan/atau kerusakan, memperpanjang daya simpan, dan meningkatkan
daya guna serta nilai tambah hasil budidaya tanaman.
Pasal 32
1. Terhadap hasil budidaya tanaman yang dipasarkan diterapkan standar
mutu.
2. Pemerintah menetapkan jenis hasil budidaya tanaman yang harus
memenuhi standar mutu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3. Pemerintah mengawasi mutu hasil budidaya tanaman sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 33
Ketentuan mengenai pascapanen dan standar mutu hasil budidaya
tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32, diatur lebih
lanjut oleh Pemerintah.
Pasal 34
1. Pemerintah menetapkan standar unit pengolahan, alat transportasi,
dan unit penyimpanan hasil. budidaya tanaman.
2. Pemerintah melakukan akreditasi atas kelayakan unit pengolahan, alat
transportasi, dan unit penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
10
3. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap unit pengolahan, alat
transportasi, dan unit penyimpanan hasil budidayatanaman,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 35
Pemerintah menetapkan tata cara pcngawasan atas mutu unit pengolahan,
alat transportasi, dan unit penyimpanan hasil budidaya tanaman.
Pasal 36
1. Pemerintah menetapkan harga dasar hasil budidaya tanaman tertentu.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut
oleh Pemerintah.
BAB IV
SARANA PRODUKSI
Bagian Kesatu
P u p u k
Pasal 37
1. Pupuk yang beredar di dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib
memenuhi standar mutu dan terjamin efektivitasnya serta diberi label.
2. Pemerintah menetapkan standar mutu pupuk serta jenis pupuk yang
boleh diimpor.
3. Pemerintah mengawasi pengadaan dan peredaran pupuk.
4. Ketentuan mengenai tata cara pengawasan, pengadaan dan peredaran
pupuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
P e s t i s i d a
Pasal 38
1. Pestisida yang akan diedarkan di dalam wilayah negara Republik
Indonesia wajib terdaftar, memenuhi standar mutu, terjamin
efektivitasnya, aman bagi manusia dan lingkungan hidup, serta diberi
label.
2. Pemerintah menetapkan standar mutu pestisida sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dan jenis pestisida yang boleh diimpor.
Pasal 39
Pemerintah melakukan pendaftaran dan mengawasi pengadaan,
peredaran, serta penggunaan pestisida.
Pasal 40
Pemerintah dapat melarang atau membatasi peredaran dan/atau
penggunaan pestisida tertentu.
11
Pasal 41
Setiap orang atau badan hukum yang menguasai pestisida yang dilarang
peredarannya atau yang tidak memenuhi standar mutu atau rusak atau
tidak terdaflar wajib memusnahkannya.
Pasal 42
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan
Pasal 41, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Alat dan Mesin
Pasal 43
1. Pemerintah menetapkan jenis dan standar alat dan mesin budidaya
tanaman yang produksi serta peredarannya perlu diawasi.
2. Alat dan mesin budidaya tanaman sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), diuji terlebih dahulu sebelum diedarkan.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
TATA RUANG DAN TATA GUNA TANAH
BUDIDAYA TANAMAN
Pasal 44
1. Pemanfaatan lahan untuk keperluan budidaya tanaman disesuaikan
dengan ketentuan tata ruang dan tata guna tanah berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian dan kemampuan lahan
maupun pelestarian lingkungan hidup khususnya konservasi tanah.
Pasal 45
Perubahan rencana tata ruang yang mengakibatkan perubahan peruntukan
budidaya tanaman guna keperluan lain dilakukan dengan memperhatikan
rencana produksi budidaya tanaman secara nasional.
Pasal 46
1. Pemerintah menetapkan luas maksimum lahan untuk unit usaha
budidaya tanaman yang dilakukan di atas tanah yang dikuasai oleh
Negara.
2. Setiap pcrubahan jenis tanaman pada unit usaha budidaya tanaman di
atas tanah yang dikuasai oleh negara harus memperoleh persetujuan
Pemerintah.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
12
BAB VI
PENGUSAHAAN
Pasal 47
1. Usaha budidaya tanaman hanya dapat dilakukan oleh perorangan
warga negara Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
2. Badan usaha yang berbentuk badan hukum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dapat berupa:
a. Koperasi; atau
b. Badan Usaha Milik Negara termasuk Badan Usaha Milik Daerah;
atau
c. Perusahaan swasta.
3. Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diarahkan untuk
bekerja sama secara terpadu dengan masyarakat petani dalam
melakukan usaha budidaya tanaman.
4. Pemerintah dapat menugaskan badan usaha sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), untuk pengembangan kerja sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 48
1. Perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), yang melakukan usaha budidaya
tanaman tertentu di atas skala tertentu wajib memiliki izin.
2. Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus
memperhatikan aspek ekonomi, sosial, budaya, sumberdaya alam,
lingkungan hidup, dan kepentingan strategis lainnya.
3. Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diarahkan untuk
mengembangkan keterpaduan kegiatan budidaya tanaman dengan
industri dan pemasaran produknya.
Pasal 49
Pemerintah membina usaha lemah serta mendorong dan membina
terciptanya kerja sama yang serasi dan saling menguntungkan antara
pengusaha lemah dan pengusaha kuat di bidang budidaya tanaman.
Pasal 50
1. Setiap orang atau badan hukum yang dalam melakukan budidaya
tanaman memanfaatkan jasa atau sarana yang disediakan oleh
Pemerintah dapat dikenakan pungutan.
2. Petani kecil berlahan sempit yang melakukan kegiatan budidaya
tanaman hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidak
dikenakan pungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
13
Pasal 51
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, dan
Pasal 50, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PERANSERTA MASYARAKAT
Pasal 52
1. Pemerintah melaksanakan pembinaan budidaya tanaman dalam
bentuk pengaturan, pemberian bimbingan, dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan budidaya tanaman.
2. Pembinaan budidaya tanaman diarahkan untuk meningkatkan
produksi, mutu, dan nilai tambah hasil budidaya tanaman serta efisiensi
penggunaan lahan dan sarana produksi.
3. Pembinaan sebagaimana dimaksud data ayat (2), didasarkan pada
pemenuhan kebutuhan dalam negeri, keunggulan komparatif, dan
permintaan pasar komoditi budidaya tanaman yang bersangkutan.
4. Ketentuan mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3), diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Pasal 53
Pemerintah mendorong dan mengarahkan peranserta organisasi profesi
terkait dalam pembinaan budidaya tanaman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (1).
Pasal 54
1. Pemerintah menyelenggarakan penelitian di bidang budidaya tanaman
yang diarahkan bagi kepentingan masyarakat.
2. Pemerintah membina dan mendorong masyarakat untuk melakukan
kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 55
1. Kepada penemu teknologi tepat serta penemu teori dan metode ilmiah
baru di bidang budidaya tanaman dapat diberikan penghargaan oleh
Pemerintah.
2. Kepada penemu jenis baru dan/atau varietas unggul, dapat diberikan
penghargaan oleh Pemerintah serta mempunyai hak memberi nama
pada temuannya.
3. Setiap orang atau badan hukum yang tanamannya memiliki
keunggulan tertentu dapat diberikan penghargaan oleh Pemerintah.
4. Ketentuan mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), diatur lebih lanjut oleh
Pemerintah.
14
Pasal 56
1. Pemerintah menyelenggarakan pengembangan sumberdaya manusia
di bidang budidaya tanaman melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan
serta mendorong dan membina masyarakat untukmelakukan kegiatan
tersebut.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 57
1. Pemerintah menyelenggarakan penyuluhan budidaya tanaman serta
mendorong dan membina peranserta masyarakat untuk melakukan
kegiatan penyuluhan dimaksud.
2. Pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan informasi yang
mendukung pengembangan budidaya tanaman serta mendorong dan
membina peranserta masyarakat dalam pemberian pelayanan tersebut.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diatur lebih
lanjut oleh Pemerintah.
BAB VIII
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 58
1. Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang budidaya
tanaman kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan
perundang undangan yang berlaku.
2. Pemerintah dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah untuk
melaksanakan tugas pembantuan di bidang budidaya tanaman.
3. Ketentuan penyerahan sebagian urusan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 59
1. Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, juga pejabat
pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang budidaya tanaman, dapat
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana di bidang
budidaya tanaman.
2. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang untuk :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang budidaya tanaman;
15
b. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan
diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam tindak
pidana di bidang budi daya tanaman;
c. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak
pidana di bidang budidaya tanaman;
d. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang budidaya tanaman;
e. membuat dan menandatangani berita acara;
f. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti
tentang adanya tindak pidana di bidang budidaya tanaman.
3. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberitahukan
dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum melalui penyidik pejabat polisi negara Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 60
1. Barangsiapa dengan sengaja:
a. mencari dan mengumpulkan plasma nutfah tidak berdasarkan izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3);
b. mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);
c. mengedarkan benih bina yang tidak sesuai dengan label
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
d. mengeluarkan benih dari atau memasukkan ke dalam wilayah
Negara Republik Indonesia tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2);
e. menggunakan cara dan/atau sarana perlindungan tanaman yang
mengganggu kesehatan dan mengancam keselamatan manusia
atau menimbulkan kerusakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1);
f. mengedarkan pupuk yang tidak sesuai dengan label sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
g. mengedarkan pestisida yang tidak terdaftar atau tidak sesuai dengan
label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1);
h. tidak memusnahkan pestisida yang dilarang peredarannya, tidak
memenuhi standar mutu, rusak atau tidak terdaftar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41;
i. melanggar kelentuan pelaksanaan Pasal 16; dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).
2. Barang siapa karena kelalaiannya :
a. mencari dan mengumpulkan plasma nutfah tidak berdasarkan izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3);
16
b. mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);
c. mengedarkan benih bina yang tidak sesuai dengan label
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
d. mengeluarkan benih dari atau memasukkan ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2);
e. menggunakan cara dan/atau sarana perlindungan tanaman yang
mengganggu kesehatan dan mengancam keselamatan manusia
atau menimbulkan kerusakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1);
f. mengedarkan pupuk yang tidak sesuai dengan label sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
g. mengedarkan pestisida yang tidak terdaftar atau tidak sesuai
dengan label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1);
h. tidak memusnahkan pestisida yang dilarang peredarannya, tidak
memenuhi standar mutu, rusak atau tidak terdaftar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41;
i. melanggar ketentuan pelaksanaan Pasal 16; dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 12 (dua belas) bulan atau denda paling
banyak Rp. 50.000.000,- (limapuluh juta rupiah).
Pasal 61
1. Barangsiapa dengan sengaja:
a. tidak mengikuti tata cara pembukaan dan pengolahan lahan atau
penggunaan media tumbuh tanaman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7;
b. melakukan sertifikasi tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (1);
c. dalam memelihara tanaman menggunakan sarana dan/atau cara
yang mengganggu kesehatan dan mengancam keselamatan
manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya Alam,
dan atau lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam asal 28
ayat (2);
d. melakukan usaha budidaya tanaman tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1);
e. melanggar ketentuan pelaksanaan Pasal 40; dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
2. Barangsiapa karena kelalaiannya :
a. tidak mengikuti tata cara pembukaan dan pengolahan lahan atau
penggunaan media tumbuh tanaman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7;
b. melakukan sertifikisi tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (1);
c. dalam memelihara tanaman menggunakan sarana dan/atau cara
yang mengganggu kesehatan dan mengancam keselamatan
17
manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya
alam, dan atau lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (2);
d. melakukan usaha budidaya tanaman tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1);
e. melanggar ketentuan pelaksanaan Pasal 40; dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 12 (dua belas) bulan atau denda
paling banyak Rp 50.000.000,- (limapuluh juta rupiah).
Pasal 62
1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), dan
Pasal 61 ayat (1), adalah kejahatan.
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2), dan
Pasal 61 ayat (2), adalah pelanggaran.
Pasal 63
Tumbuhan dan/atau sarana budidaya tanaman yang diperoleh dan/atau
digunakan untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud dalam Undangundang
ini dapat dirampas.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan
perundang-undangan di bidang budidaya tanaman yang tidak bertentangan
dengan Undang-undang ini tetap berlaku selama belum ditetapkan
penggantinya berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka :
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1961 tentang Pengeluaran dan
Pemasukan Tanaman dan Bibit Tanaman (Lembaran Negara Tahun
1961 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2147);
2. Ketentuan yang mengatur tentang budidaya tanaman yang tercantum
dalam :
a. Ordonansi tentang Krisis Teh (Crisis Thee Ordonnantie, Staatsblad
1933 No. 203);
b. Ordonansi tentang Krisis Kina (Crisis Kina Ordonnantie, Staatsblad
1933 No. 204);
c. Ordonansi tentang Krisis Kopi dan Kakao (Crisis Koffie en Cacao
Ordonnantie, Staatsblad 1933 No. 205);
d. Ordonansi tentang Pertanaman Kina (Kinaaanplant Ordonnantie,
Staatsblad 1934 No. 70);
18
e. Ordonansi tentang Pengeluaran Karet Perkebunan (Ondernemings
Rubber- uitvoer Ordonnantie, Staatsblad 1934 No. 342);
f. Ordonansi tentang Pengeluaran Karet Rakyat (Bevolkings Rubber
uitvoer Ordonnantie, Staatsblad 1934 No. 343);
g. Ordonansi tentang Pertanaman Karet (Rubberaanplant
Ordonnantie, Staatsblad 1934 No. 346);
h. Ordonansi tentang Kepentingan-kepentingan Kapok (Kapokbelangen
Ordonnantie, Staatsblad 1935 No. 165);
i. Ordonansi tentang Pertanaman Teh (Thee-aanplant Ordonnantie,
Staatsblad 1936 No. 119);
j. Ordonansi tentang Krosok (Krosok Ordonnantie, Staatsblad 1937
No. 604); dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 66
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 April 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 April 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1992 NOMOR 46

ARTIKEL TERKAIT: