Repong Damar Krui, Lampung Barat Lampung


Kebun Damar di Krui, Lampung Barat
(De Foresta et al., 2000)

Tanaman yang dominan di agroforest di Pesisir Krui adalah Shorea javanica (jenis Dipterocarpaceae (kelompok meranti). Tanaman ini merupakan pohon besar yang berasal dari hutan setempat, yang menghasilkan getah damar mata kucing bening yang diekspor untuk kebutuhan industri cat . Hingga awal abad XX, pengumpulan getah damar di hutan alam merupakan kegiatan ekonomi utama petani, sementara agroforest yang telah dibangun hanya merupakan semacam sabuk hijau pohon buah-buahan di sekeliling desa dengan luas yang terbatas. Berkurangnya pohon damar di hutan alam, telah mendorong petani melakukan pembudidayaan Shorea javanica di kebun-kebun. Keberhasilan budidaya itu telah mendorong terjadinya transformasi mendasar agroforest tradisional secara besar-besaran, yang diikuti perluasan areal agroforest.

Budidaya damar ini sangat berbeda dengan silvikultur monokultur. Bersama damar, tumbuh pula berbagai jenis pohon buah-buahan, pohon kayu-kayuan, jenis-jenis palem, bambu, dan sebagainya yang sengaja ditanam dan dirawat di kebun. Selain itu terdapat pula sejumlah tumbuhan liar yang berasal dari hutan primer ataupun dari hutan sekunder. Aneka jenis kombinasi yang khas ini menghasilkan berbagai struktur dan fungsi. Bagian kanopi dengan puncak ketinggian sekitar 40 m didominasi oleh pohon damar dan pohon durian. Di bawahnya, terdapat beberapa kelompok pohon buah-buahan seperti duku, manggis, dan rambutan yang memadati ruang pada ketinggian 10 sampai 20 meter. Di antara keduanya, pada ketinggian 20 sampai 25 meter terdapat kelompok lapisan tengah, seperti jenis-jenis Eugenia (jambu-jambuan), Garcinia (manggis-manggisan), dan Parkia (petaipetaian) yang dapat mencapai ketinggian 35 meter. Lapisan terbawah ditumbuhi rerumputan
dan semak liar.

Masalah praktis yang sering dijumpai di lapangan (misalnya tidak menentunya penyediaanbibit, menurunnya daya tahan bibit, sulitnya infeksi mikoriza pada akar tanaman muda, dsb)dapat diatasi sendiri oleh petani setempat. Petani lebih memilih ‘kebun bibit’ (seed bank) daripada memiliki ‘gudang benih’ (seedling bank). Dengan menanam bibit dari permudaan alam langsung di kebun akan memberikan kesempatan terjadinya infeksi mikoriza yang lebih besar, dan memudahkan permudaan alam untuk beradaptasi dengan lingkungannya.

Bagaimana proses terbentuknya kebun damar?
Perkembangan terbentuknya kebun damar disajikan secara skematis pada gambar 5. Pada stadia awal, lahan masih berupa hutan alam baik primer maupun sekunder, atau padang alangalang yang ditebang dan dibakar. Padi gogo ditanam secara tumpangsari dengan tanaman komersial lainya misalnya kopi, lada dan pohon-pohon pelindung lainnya seperti dadap dan gamal. Pengusahaan tanaman semusim hanya berlangsung 2-3 tahun saja. Bibit pohon yang diperoleh dari kebun petani sendiri (misalnya damar dan pohon buah-buahan) ditanam di antara tanaman pangan. Pepohonan ini nantinya akan menjadi komponen utama dari sistem agroforest.

Bila pohon damar mulai memproduksi resin (setelah berumur 20 – 25 tahun), petak lahan disiangi namun membiarkan tumbuhan bawah yang berguna tetap hidup. Dengan demikian kebun damar telah melalui beberapa stadia yaitu: tanaman semusim, tanaman komersial, fase non- produktif dan agroforest yang produktif sepenuhnya. Setelah tanaman semusim dipanen terakhir kalinya, kopi dan lada dibiarkan tumbuh selama kurang lebih 8-15 tahun. Permudaan alam lainnya akan tumbuh kembali sehingga akan diperoleh kebun campuran. Pada periode ini kompetisi intensif (antara tanaman semusim dengan pepohonan atau tanaman bawah lainnya) kemungkinan besar akan terjadi. Penanaman tanaman semi-perenial (seperti lada, kopi) merupakan usaha petani dalam meningkatkan pendapatannya sehingga sering menjadi kompetitor terbesar bagi pepohonan. Dengan demikian pembentukan agroforest mengalami sedikit penundaan waktu.

Keuntungan dari sistem agroforest.
Fungsi ekonomi agroforest di Pesisir Krui terutama adalah produksi damar. Delapan puluh  persen pendapatan sebagian besar desa di Pesisir Krui dihasilkan dari kebun-kebun damar. Selain itu kebun damar juga memasok buah-buahan, sayuran, rempah-rempah, gula, kayu bakar, kulit kayu, daun, bambu, dan kayu bangunan. Dengan aneka produk yang dihasilkan, kebun damar telah menggantikan fungsi hutan dalam ekonomi pedesaan. Karenanya, agroforest mengurangi kegiatan pengumpulan hasil hutan dari hutan-hutan alam di sekitarnya. Petani membuka hutan hanya untuk kebutuhan produksi makanan pokok, yakni membuka ladang padi: namun seringkali alasan sebenarnya adalah untuk membangun kebun damar yang baru.

Sebagai hutan buatan yang dikelola dengan cermat, agroforest dapat memproduksi selain kayu juga kebutuhan sehari-hari lainnya. Dengan berkembangnya agroforest, peran hutan alam sebagai sumber bahan nabati semakin lama semakin menghilang. Bila tuntutan lain terhadap hutan alam, yaitu sebagai cadangan lahan untuk perluasan pertanian juga dapat berkurang, maka upaya perlindungan bisa menjadi lebih efisien.
Sumber  

Gambar :


Baca SelengkapnyaRepong Damar Krui, Lampung Barat Lampung

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : P. 14/Menhut-II/2011
TENTANG
IZIN PEMANFAATAN KAYU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kehutanan terkait pemanfaatan kayu;
b. bahwa berdasarkan Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, dalam kawasan hutan produksi
yang dapat dikonversi dan penggunaan kawasan hutan dengan
status pinjam pakai dapat diterbitkan izin pemanfaatan kayu/izin
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dengan menggunakan
ketentuan-ketentuan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
atau bukan kayu pada hutan alam sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini;
c. bahwa sebagai tindak lanjut huruf b, telah ditetapkan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2009 tentang
Penggantian Nilai Tegakan Dari Izin Pemanfaatan Kayu Dan Atau
Dari Penyiapan Lahan Dalam Pembangunan Hutan Tanaman;
d. bahwa dengan telah diundangkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan,
perlu penyesuaian Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.58/Menhut-II/2009 tentang Penggantian Nilai Tegakan Dari Izin
Pemanfaatan Kayu Dan Atau Dari Penyiapan Lahan Dalam
Pembangunan Hutan Tanaman tersebut huruf c;
e. bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut, dipandang
perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Izin
Pemanfaatan Kayu;
/Mengingat...
~ 2 ~
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3687);
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4412);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 140);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 3643);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3838);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana
Reboisasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4207), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4813);
/9. Peraturan...
~ 3 ~
9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4696), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4814);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5097);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5112);
13. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan
dan Organisasi Kementerian Negara Republik Indonesia;
14. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,
Tugas, Dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan
Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
15. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006
tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk
Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal dari Hutan Hak,
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2007;
17. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2007
tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengenaan, Pemungutan dan
Pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi;
18. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006
tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan
Negara, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.45/Menhut-II/2009 (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 215);
19. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/Menhut-II/2009
tentang Pemasukan dan Penggunaan Alat Untuk Kegiatan Izin
Usaha Pemanfaatan Hutan Atau Izin Pemanfaatan Kayu (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 265);
/20. Peraturan...
~ 4 ~
20. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2010
tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang
Dapat Dikonversi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 377);
21. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 405);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG IZIN
PEMANFAATAN KAYU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Izin Pemanfaatan Kayu yang selanjutnya disebut IPK adalah izin untuk memanfaatkan
kayu dan/atau bukan kayu dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan telah
dilepas, kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan,
penggunaan kawasan hutan pada hutan produksi atau hutan lindung dengan izin pinjam
pakai, dan dari Areal Penggunaan Lain yang telah diberikan izin peruntukan.
2. IUPHHK-HA adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa
kayu dalam hutan alam pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau
penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran.
3. IUPHHK-HT adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa
kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi melalui kegiatan penyiapan lahan,
pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.
4. IUPHHBK-HT adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa
bukan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi melalui kegiatan penyiapan
lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.
5. Penggantian nilai tegakan adalah salah satu kewajiban selain PSDH dan DR yang harus
dibayar kepada negara akibat dari izin pemanfaatan kayu, penggunaan kawasan hutan
melalui izin pinjam pakai, kegiatan penyiapan lahan dalam pembangunan hutan tanaman,
dan dari areal kawasan hutan yang telah dilepas dan dibebani HGU yang masih terdapat
hasil hutan kayu dari pohon yang tumbuh secara alami sebelum terbitnya HGU.
6. Nilai tegakan adalah harga yang dibayar berdasarkan Laporan Hasil Produksi.
7. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Menteri
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
8. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
9. Penggunaan kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan
peruntukan kawasan hutan tersebut.
/10. Areal...
~ 5 ~
10. Areal Penggunaan Lain yang selanjutnya disebut APL yang telah dibebani izin peruntukan
adalah areal hutan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang
Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi, atau berdasarkan Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK) menjadi bukan kawasan hutan.
11. Hutan produksi yang dapat dikonversi yang selanjutnya disebut HPK adalah kawasan
hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar
kegiatan kehutanan.
12. Tukar menukar kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan produksi tetap
dan/atau hutan produksi terbatas menjadi bukan kawasan hutan yang diimbangi dengan
memasukan lahan pengganti dari bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan.
13. Pelepasan kawasan hutan adalah perubahan peruntukan kawasan hutan produksi yang
dapat dikonversi menjadi bukan kawasan hutan.
14. Pinjam pakai kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada
pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah
status, peruntukan dan fungsi kawasan hutan.
15. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum
koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus
sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas azas kekeluargaan.
16. Timber Cruising adalah kegiatan pengukuran, pengamatan dan pencatatan terhadap
pohon yang direncanakan akan ditebang yang dilaksanakan dengan intensitas sebesar
5% (lima persen).
17. RKT adalah rencana kerja dengan jangka waktu 1 (satu) tahun yang merupakan
penjabaran dari RKUPHHK (Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu).
18. Surat Perintah Pembayaran Penggantian Nilai Tegakan yang selanjutnya disebut SPP-GR
adalah dokumen yang memuat besarnya kewajiban penggantian nilai tegakan yang harus
dibayar oleh Wajib Bayar.
19. Bendaharawan Penerima Kementerian Kehutanan adalah Pegawai Negeri Sipil
Kementerian Kehutanan yang ditetapkan oleh Menteri dan diberi tugas serta wewenang
untuk menerima dan menyetor ke Kas Negara dan mengadministrasikan penggantian
nilai tegakan.
20. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.
21. Sekretaris Jenderal adalah Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan.
22. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan tanggung jawab di
bidang bina usaha kehutanan.
23. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan
bertanggung jawab di bidang planologi kehutanan.
24. Gubernur adalah Kepala penyelenggara pemerintahan daerah Propinsi sesuai dengan
wilayah kerjanya.
25. Bupati/Walikota adalah Kepala penyelenggara pemerintahan daerah Kabupaten/Kota
sesuai dengan wilayah kerjanya.
/26. Dinas...
~ 6 ~
26. Dinas Propinsi adalah Dinas yang diberi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan
di daerah propinsi.
27. Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diberi tugas dan tanggung jawab di bidang
kehutanan di daerah kabupaten/kota.
28. Kepala Balai adalah Kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi sesuai
dengan wilayah kerjanya dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal.
29. Pejabat Penagih SPP-GR adalah pejabat yang ditetapkan oleh Kepala Balai.
30. APHI adalah Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia.
BAB II
PERSYARATAN AREAL DAN PEMOHON SERTA KEWENANGAN PEMBERIAN
IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK)
Bagian Kesatu
Persyaratan areal dan pemohon
Pasal 2
(1) Persyaratan areal yang dapat dimohon IPK meliputi :
a. HPK yang telah dikonversi dengan cara pelepasan kawasan hutan atau kawasan hutan
produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan;
b. penggunaan kawasan hutan melalui izin pinjam pakai kawasan hutan; atau
c. APL yang telah diberikan izin peruntukan.
(2) Pemohon yang dapat mengajukan IPK adalah:
a. Perorangan;
b. Koperasi;
c. Badan Usaha Milik Negara;
d. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); atau
e. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS).
(3) Areal pada penggunaan kawasan hutan dengan cara pinjam pakai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, izin pinjam pakai kawasan hutan melekat dan berlaku sebagai IPK.
(4) Permohonan IPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c, dikecualikan
terhadap pemanfaatan kayu yang tidak ekonomis.
Pasal 3
Izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), meliputi:
a. Izin pinjam pakai untuk kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan produksi.
b. Izin pinjam pakai untuk kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan lindung bagi 13
(tiga belas) izin pertambangan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor
41 Tahun 2004 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004.
c. Izin pinjam pakai kawasan hutan selain untuk kegiatan pertambangan, baik pada kawasan
hutan produksi maupun pada kawasan hutan lindung.
/Bagian...
~ 7 ~
Bagian Kedua
Kewenangan Pemberian IPK
Pasal 4
(1) IPK pada areal sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) huruf a, diberikan oleh
Kepala Dinas Propinsi selaku Pejabat Penerbit IPK.
(2) IPK pada areal sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) huruf c, diberikan oleh
Kepala Dinas Kabupaten/Kota selaku Pejabat Penerbit IPK.
BAB III
TATA CARA PERMOHONAN DAN PENYELESAIAN PERMOHONAN
Bagian Kesatu
Izin Pemanfaatan Kayu Pada APL Yang Telah Dibebani Izin Peruntukan
Pasal 5
(1) Permohonan IPK pada areal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c,
diajukan oleh pemohon kepada pejabat penerbit IPK dengan tembusan kepada:
a. Kepala Dinas Propinsi;
b. Kepala Balai; dan
c. Kepala BPKH.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi persyaratan:
a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk untuk pemohon perorangan atau Akte Pendirian
perusahaan pemohon beserta perubahannya;
b. Fotokopi izin peruntukan penggunaan lahan seperti izin bidang pertanian, perkebunan,
perikanan, pemukiman, pembangunan transportasi, sarana prasarana wilayah,
pembangunan sarana komunikasi dan informasi, Kuasa Pertambangan, PKP2B yang
diterbitkan dan dilegalisir oleh pejabat yang berwenang;
c. Peta lokasi yang dimohon.
Pasal 6
(1) Permohonan IPK yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2), Pejabat Penerbit IPK menolak permohonan dalam jangka waktu 14 (empat belas)
hari kerja sejak permohonan diterima.
(2) Permohonan IPK yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2), Pejabat Penerbit IPK meminta pertimbangan teknis kepada Kepala Dinas Propinsi,
dengan tembusan kepada Kepala Balai.
(3) Permintaan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilampiri dengan
persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
Pasal 7
(1) Kepala Dinas Propinsi dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya
permintaan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2),
/menerbitkan...
~ 8 ~
menerbitkan pertimbangan teknis atau penolakan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota
dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Bupati/Walikota, dan Kepala Balai.
(2) Pertimbangan teknis Kepala Dinas Propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
didasarkan hasil penelaahan terhadap status kawasan hutan dan kondisi perusahaan
pemegang izin peruntukan.
Pasal 8
(1) Berdasarkan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pejabat Penerbit
IPK memerintahkan kepada pemohon untuk:
a. melakukan timber cruising pada areal yang dimohon dengan intensitas 5% (lima
persen) untuk seluruh pohon dan diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 25
(dua puluh lima) hari kerja sejak diterimanya surat perintah dan membuat Rekapitulasi
Laporan Hasil Cruising (RLHC); dan
b. menuangkan RLHC sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam Berita Acara dan
ditandatangani oleh pengurus perusahaan dilengkapi Pakta Integritas yang berisi nama,
jabatan, alamat, dan pernyataan kebenaran pelaksanaan timber cruising.
(2) Rekapitulasi LHC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, digunakan sebagai dasar
penentuan taksiran volume tebangan untuk:
a. dituangkan dalam Keputusan IPK; dan
b. penetapan Bank Garansi dari bank pemerintah yang besarnya 3/12 (tiga per duabelas)
dari taksiran volume tebangan.
(3) Dalam hal permohonan telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pejabat Penerbit IPK memberikan surat persetujuan IPK dan kepada pemohon diwajibkan
untuk:
a. membuat Rencana Penebangan dalam jangka waktu 50 (lima puluh) hari kerja, sejak
diterimanya Surat Perintah;
b. melaksanakan penataan batas blok tebangan IPK, dan diselesaikan paling lambat 50
(lima puluh) hari kerja, sejak diterimanya Surat Perintah; dan
c. menyampaikan Bank Garansi dari bank pemerintah.
(4) Dalam hal memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diterbitkan
Keputusan Pemberian IPK.
(5) Dalam hal pemohon tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
dalam waktu 50 (lima puluh) hari kerja, surat persetujuan IPK dibatalkan.
Pasal 9
Keputusan Pemberian IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) atau surat
pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5), salinan/tembusannya disampaikan
kepada:
/a. Direktur...
~ 9 ~
a. Direktur Jenderal;
b. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan;
c. Kepala Dinas Propinsi; dan
d. Kepala Balai.
Pasal 10
(1) Berdasarkan keputusan pemberian IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4),
pemegang IPK melakukan kegiatan penebangan, penyaradan, pembagian batang,
pembuatan LHP di TPn, pemuatan, pengangkutan, dan pembongkaran di tempat
penimbunan kayu (TPK) yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
(2) Berdasarkan LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan pembayaran
penggantian nilai tegakan.
Pasal 11
(1) Pemegang IPK wajib membayar penggantian nilai tegakan dari IPK.
(2) Volume kayu untuk perhitungan penggantian nilai tegakan dihitung berdasarkan volume
pada Laporan Hasil Produksi (LHP).
(3) Berdasarkan LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Penagih SPP-GR
menerbitkan SPP-GR kepada pemegang IPK.
(4) Selain membayar penggantian nilai tegakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemegang IPK tetap diwajibkan membayar PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan), DR (Dana
Reboisasi) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Izin Pemanfaatan Kayu Pada HPK Yang Telah Dikonversi
Atau Tukar Menukar Kawasan Hutan
Pasal 12
(1) Permohonan IPK pada HPK yang telah dikonversi atau tukar menukar kawasan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, diajukan oleh pemohon kepada
pejabat penerbit IPK dengan tembusan kepada:
a. Direktur Jenderal;
b. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan;
c. Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
d. Kepala Balai; dan
e. Kepala BPKH.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi persyaratan:
a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk untuk pemohon perorangan atau Akte Pendirian
perusahaan pemohon beserta perubahannya;
b. Foto copy Keputusan Menteri tentang pelepasan kawasan hutan yang telah dilegalisir
oleh Pejabat yang berwenang; dan
c. Peta lokasi yang dimohon.
/Pasal 13...
~ 10 ~
Pasal 13
(1) Permohonan IPK yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2), Pejabat Penerbit IPK menolak permohonan tersebut dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima.
(2) Permohonan IPK yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(2), Pejabat Penerbit IPK meminta pertimbangan teknis kepada Direktur Jenderal, dengan
tembusan kepada Kepala Balai.
(3) Permintaan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilampiri dengan
persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
Pasal 14
(1) Berdasarkan tembusan permintaan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2), Kepala Balai dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal
diterimanya tembusan permintaan pertimbangan teknis menyampaikan hasil penelaahan
terhadap kegiatan fisik di lapangan kepada Direktur Jenderal.
(2) Direktur Jenderal dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya hasil
penelaahan terhadap kegiatan fisik di lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
menerbitkan pertimbangan teknis atau penolakan kepada Pejabat Penerbit IPK dengan
tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota, Kepala Balai, dan Kepala BPKH.
Pasal 15
(1) Berdasarkan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pejabat
Penerbit IPK memerintahkan kepada pemohon untuk:
a. melakukan timber cruising pada areal yang dimohon dengan intensitas 5% (lima
persen) untuk semua pohon dan diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 25
(dua puluh lima) hari kerja sejak diterimanya surat perintah dan membuat Rekapitulasi
Laporan Hasil Cruising (RLHC); dan
b. menuangkan rekapitulasi LHC sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam Berita Acara
dan ditandatangani oleh pengurus perusahaan dilengkapi Pakta Integritas yang berisi
nama, jabatan, alamat, pernyataan kebenaran pelaksanaan timber cruising.
(2) Rekapitulasi LHC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, digunakan sebagai dasar
penentuan taksiran volume tebangan untuk:
a. dituangkan dalam Keputusan IPK; dan
b. penetapan Bank Garansi dari bank pemerintah yang besarnya 3/12 (tiga per duabelas)
dari taksiran volume tebangan.
(3) Dalam hal pemohon telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat
Penerbit IPK memberikan surat persetujuan IPK dan kepada pemohon diwajibkan untuk:
a. membuat Rencana Penebangan dalam jangka waktu 50 (lima puluh) hari kerja sejak
diterimanya Surat Perintah;
b. melaksanakan penataan batas blok tebangan IPK, dan diselesaikan paling lambat 50
(lima puluh) hari kerja sejak diterimanya Surat Perintah; dan
c. menyampaikan Bank Garansi dari bank pemerintah.
/(4) Dalam...
~ 11 ~
(4) Dalam hal memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diterbitkan
Keputusan Pemberian IPK.
(5) Dalam hal pemohon tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
dalam waktu 50 (lima puluh) hari kerja surat persetujuan IPK dibatalkan.
Pasal 16
Keputusan Pemberian IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) atau surat
pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5), salinan/tembusannya
disampaikan kepada:
a. Direktur Jenderal;
b. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan;
c. Kepala Dinas Kabupaten/Kota; dan
d. Kepala Balai.
Pasal 17
(1) Berdasarkan Keputusan Pemberian IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4),
pemegang IPK melakukan kegiatan penebangan, penyaradan, pembagian batang,
pembuatan LHP di TPn, pemuatan, pengangkutan, dan pembongkaran di tempat
penimbunan kayu (TPK) yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota dan dibuat
Laporan Hasil Produksi (LHP).
(2) Berdasarkan LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan pembayaran
penggantian nilai tegakan.
Pasal 18
(1) Pemegang IPK wajib membayar penggantian nilai tegakan dari IPK.
(2) Volume kayu untuk perhitungan penggantian nilai tegakan dihitung berdasarkan volume
pada Laporan Hasil Produksi (LHP).
(3) Berdasarkan LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Penagih SPP-GR
menerbitkan SPP-GR kepada pemegang IPK.
(4) Selain membayar penggantian nilai tegakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemegang IPK tetap diwajibkan membayar PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan), DR (Dana
Reboisasi) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
Keputusan Pemberian IPK oleh Pejabat Penerbit IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (4) atau Keputusan Pemberian IPK oleh Pejabat Penerbit IPK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (4), sekurang-kurangnya memuat:
a. nama serta alamat pemegang izin;
b. luas dan letak lokasi IPK;
c. jumlah, volume dan per kelompok jenis kayu bulat yang akan diproduksi;
d. peralatan-peralatan yang akan digunakan;
/e. hak...
~ 12 ~
e. hak, kewajiban dan larangan pemegang IPK;
f. jangka waktu berlakunya IPK;
g. tempat dan tanggal terbitnya IPK;
h. nama, dan tandatangan pejabat penerbit IPK; dan
i. stempel/cap instansi/pejabat penerbit IPK.
Pasal 20
Pada areal yang telah diberikan dispensasi dalam rangka proses permohonan pelepasan
kawasan hutan pada HPK, dapat diberikan IPK dengan mengacu pada ketentuan IPK pada
HPK yang telah dikonversi sesuai Peraturan ini.
Bagian Ketiga
Kayu Tidak Ekonomis Untuk IPK
Pasal 21
(1) Dalam hal pada areal penggunaan lain (APL) yang telah dibebani izin peruntukan, pada
HPK yang telah dikonversi atau pada tukar menukar kawasan hutan, potensi kayunya
tidak ekonomis untuk dijadikan satu izin IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(4), maka tidak memerlukan IPK dan dapat melakukan kegiatan termasuk pembukaan
lahan dan penebangan pohon.
(2) Tidak ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila volume tegakan diameter >
30 cm dan paling banyak 50 meter kubik dalam satu calon IPK.
(3) Potensi kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap dikenakan kewajiban
membayar penggantian nilai tegakan yang didasarkan pada hasil timber cruising dengan
intensitas 100% (seratus persen) untuk kayu berdiameter > 30 cm, yang dilakukan oleh
Dinas Kabupaten/Kota.
(4) Terhadap potensi kayu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diterbitkan surat dari
Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota.
(5) Terhadap kayu hasil tebangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah dilunasi
kewajibannya kepada negara berupa penggantian nilai tegakan, PSDH dan DR dapat
diangkut dengan dilengkapi dokumen angkutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 22
(1) Sebelum melakukan pembukaan lahan dan penebangan pohon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, pemegang izin peruntukan atau pada HPK yang telah dikonversi wajib
melaporkan rencana penebangan kayu tidak ekonomis kepada Kepala Dinas Kehutanan
Kabupaten/Kota.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dinas Kehutanan
Kabupaten/Kota melakukan pemeriksaan lapangan guna memastikan rencana penebangan
sesuai yang dilaporkan.
(3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), telah
sesuai, dapat dilakukan kegiatan penebangan dan semua kayu hasil penebangan baik
berupa kayu bulat maupun kayu bulat kecil di buatkan LHP.
/(4) LHP...
~ 13 ~
(4) LHP sebagaimana pada ayat (3), digunakan sebagai dasar perhitungan kewajiban
pembayaran PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan.
(5) Dokumen pengangkutan kayu hasil penebangan kayu tidak ekonomis, menggunakan
dokumen SKSKB yang diterbitkan secara official assessment oleh petugas Dinas
Kehutanan Kabupaten/Kota yang ditunjuk dan FA-KB yang diterbitkan secara self
assessment.
BAB IV
AREAL PADA PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN CARA PINJAM PAKAI
KAWASAN HUTAN DAN AREAL KAWASAN HUTAN YANG TELAH DILEPAS DAN
DIBEBANI HAK GUNA USAHA (HGU)
Bagian Kesatu
Areal Pada Penggunaan Kawasan Hutan dengan Cara
Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Pasal 23
(1) Berdasarkan keputusan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan Pasal 2 ayat (3), pemegang izin pinjam pakai
kawasan hutan dapat melakukan penebangan pohon dalam rangka pembukaan lahan,
yang pelaksanaannya wajib dilakukan secara bertahap sesuai dengan rencana kerja
pembukaan lahan tahunan, dengan membayar lunas kewajiban PSDH, DR dan
penggantian nilai tegakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pembukaan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan penebangan
pohon, penyaradan, pembagian batang, pengukuran, pengumpulan kayu, dan pelaporan
di dalam arealnya.
(3) Pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan oleh Tenaga Teknis
pengukuran yang dimiliki oleh perusahaan atau menggunakan dari pihak lain.
Pasal 24
Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan diwajibkan menyampaikan Bank Garansi dari bank
pemerintah yang besarnya 3/12 (tiga per duabelas) dari taksiran volume tebangan
berdasarkan rekapitulasi LHC pada saat persetujuan prinsip izin pinjam pakai kawasan hutan.
Pasal 25
Dalam hal areal izin pinjam pakai berada di kawasan hutan yang tidak dibebani atau dibebani
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, kayu hasil penebangan dalam rangka pembukaan
lahan menjadi milik pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan.
Pasal 26
Prosedur pengenaan PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1), sebagai berikut:
a. Kayu hasil penebangan dalam rangka pembukaan lahan wajib dilakukan pengukuran yang
hasilnya dicatat ke dalam buku ukur.
/b. Berdasarkan...
~ 14 ~
b. Berdasarkan buku ukur, pemegang ijin pinjam pakai wajib membuat usulan LHP.
c. Usulan LHP sebagaimana tersebut huruf b, dilaporkan untuk dimintakan pengesahan oleh
pemegang izin pinjam pakai kepada Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota dengan
tembusan Kepala Dinas Propinsi, Kepala Balai, dan Kepala BPKH dengan dilampiri:
1. Foto copy izin pinjam pakai;
2. Laporan hasil produksi; dan
3. Bukti penyampaian Bank Garansi dari bank pemerintah.
d. Berdasarkan laporan tersebut, Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat memerintahkan
Pejabat Pengesah Laporan Hasil Produksi (P2LHP) untuk dilakukan pemeriksaan atas
kesesuaian:
1. Areal penebangan berdasarkan lokasi sesuai ijin pinjam pakai; dan
2. LHP dengan fisik kayu.
e. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan telah sesuai, P2LHP melakukan pengesahan LHP
sebagai dasar pengenaan PSDH, DR, dan penggantian nilai tegakan.
f. Berdasarkan LHP yang telah disahkan sebagaimana dimaksud pada huruf e, Pejabat
Penagih menerbitkan SPP-PSDH, SPP-DR dan SPP-GR.
g. Setelah terbitnya SPP sebagaimana dimaksud huruf f, maka paling lambat 6 (enam) hari
kerja Wajib Bayar harus melunasi melalui Bank Persepsi yang telah ditetapkan.
Pasal 27
Dalam hal pembayaran PSDH, DR, penggantian nilai tegakan dan kewajiban-kewajiban lain
telah dipenuhi, diterbitkan dokumen Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB)/FA-KB sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Areal Kawasan Hutan Yang Telah Dilepas Dan Dibebani Hak Guna Usaha (HGU)
Pasal 28
(1) Dalam hal pada areal kawasan hutan yang telah dilepas dan dibebani HGU masih terdapat
hasil hutan kayu dari pohon yang tumbuh secara alami sebelum terbitnya HGU, tetap
dikenakan PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan, tanpa melalui IPK.
(2) Hasil hutan kayu dari pohon yang tumbuh secara alami sebelum terbitnya HGU
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang HGU wajib melaporkan kepada Kepala
Dinas Kabupaten/Kota.
Pasal 29
Prosedur pengenaan PSDH, DR, dan penggantian nilai tegakan atas hasil hutan kayu dari
pohon yang tumbuh secara alami pada areal kawasan hutan yang telah dilepaskan dan telah
dibebani HGU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, sebagai berikut:
a. Pemegang HGU mengajukan pengenaan PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan kepada
Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat, dengan dilampiri:
1. Foto copy HGU yang telah dilegalisir pejabat yang berwenang;
2. Foto copy akte pendirian perusahaan pemegang HGU atau foto copy KTP apabila
pemegang HGU perorangan;
/3. Daftar...
~ 15 ~
3. Daftar perkiraan potensi kayu bulat yang akan dibayar; dan
4. Keputusan Menteri Kehutanan tentang Pelepasan Kawasan Hutan.
b. Atas dasar laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), Kepala Dinas
Kabupaten/Kota setempat memerintahkan Tenaga Teknis (GANIS) dan Pengawas Tenaga
Teknis (WASGANIS) PHPL-PKBR untuk melakukan pengukuran volume kayu yang akan
dibayar dan selanjutnya dibuatkan Daftar Kayu Bulat (DKB) sebagai dasar pengenaan
PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan.
c. Berdasarkan Daftar Kayu Bulat (DKB) yang dibuat pejabat pembuat DKB, Kepala Dinas
Kehutanan Kabupaten/Kota memerintahkan Pejabat Penagih PSDH, DR dan Kepala Balai
memerintahkan Pejabat Penagih penggantian nilai tegakan, untuk menerbitkan SPP PSDH,
SPP DR dan SPP ganti rugi nilai tegakan.
d. Atas SPP PSDH, SPP DR dan SPP ganti rugi nilai tegakan, pemegang HGU melakukan
pembayaran di Bank Persepsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. Atas bukti setor PSDH, DR dan ganti rugi nilai tegakan yang setoran tersebut telah masuk
ke rekening Bendaharawan Penerima Kementerian Kehutanan, pemegang HGU dapat
mengajukan permohonan pengangkutan kayu bulat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB V
KAYU DARI HASIL KEGIATAN PENYIAPAN LAHAN
DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN
Pasal 30
(1) Pemegang IUPHHK-HT wajib membayar penggantian nilai tegakan dari kegiatan penyiapan
lahan dalam pembangunan hutan tanaman, tanpa melalui IPK.
(2) Kayu dari hasil kegiatan penyiapan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dimasukan
dalam RKT.
Pasal 31
Terhadap hasil kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), pemegang IUPHHK-HT
diwajibkan untuk:
a. melakukan timber cruising pada areal yang akan dilakukan penyiapan lahan dengan
intensitas 5% (lima persen) untuk semua pohon dan diselesaikan dalam jangka waktu
paling lambat 25 (dua puluh lima) hari kerja sejak diterimanya surat perintah dan
membuat Rekapitulasi Laporan Hasil Cruising (RLHC);
b. RLHC sebagaimana dimaksud huruf a, dituangkan dalam Berita Acara yang digunakan
sebagai dasar pengesahan RKT sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan
c. menyampaikan pernyataan kesediaan untuk membayar penggantian nilai tegakan dari hasil
kegiatan penyiapan lahan yang dibuat di atas kertas bermaterai berisi nama perusahaan,
alamat, nama pengurus, dan kesanggupan membayar.
/Pasal 32...
~ 16 ~
Pasal 32
(1) Penatausahaan kayu IUPHHK-HT dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Selain membayar penggantian nilai tegakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1), pemegang IUPHHK-HT tetap diwajibkan membayar PSDH dan DR sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Volume kayu untuk perhitungan penggantian nilai tegakan dihitung berdasarkan volume
pada Laporan Hasil Produksi (LHP).
(4) Berdasarkan LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat Penagih SPP-GR
menerbitkan SPP-GR kepada pemegang IUPHHK-HT.
BAB VI
TATA CARA PENGENAAN DAN PENYETORAN PENGGANTIAN NILAI TEGAKAN DARI
HASIL IPK, PENYIAPAN LAHAN DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN, PINJAM
PAKAI KAWASAN HUTAN DAN AREAL KAWASAN HUTAN YANG TELAH DILEPAS DAN
DIBEBANI HAK GUNA USAHA (HGU)
Bagian Kesatu
Tata Cara Untuk Pemegang Izin Pemanfaatan Kayu
Pasal 33
(1) Pejabat penagih SPP-GR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), Pasal 18 ayat (3)
dan Pasal 26 huruf f, menerbitkan SPP-GR berdasarkan harga patokan yang ditetapkan
oleh Menteri Perdagangan setelah dikurangi kewajiban PSDH, DR dan biaya produksi.
(2) Biaya produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Menteri, dengan
memperhatikan pertimbangan Direktur Jenderal dan masukan dari Asosiasi Pengusaha
Hutan Indonesia (APHI) dan dapat diterbitkan setiap 6 (enam) bulan.
Pasal 34
(1) SPP-GR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 26
huruf f, ditembuskan kepada:
a. Lembar pertama untuk wajib bayar;
b. Lembar kedua untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
c. Lembar ketiga untuk Kepala Dinas Propinsi;
d. Lembar keempat untuk Kepala Balai; dan
e. Lembar kelima untuk arsip pejabat penagih.
(2) Berdasarkan SPP-GR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IPK melakukan
pembayaran ke Rekening Bendaharawan Penerima MK PNBP Ganti Rugi Nilai Tegakan
Nomor 102 0005361917 pada Bank Mandiri Cabang Jakarta Gedung Pusat Kehutanan.
(3) Bukti Setor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan kepada Kepala Balai dan
kepada Pejabat Penerbit SKSKB untuk diterbitkan Surat Keterangan Sah Kayu Bulat
(SKSKB).
/(4) Kepala...
~ 17 ~
(4) Kepala Balai setiap 3 (tiga) bulan sekali wajib menyampaikan laporan atas penerbitan SPPGR
kepada Direktur Jenderal, dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal, Kepala Dinas
Propinsi, dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
Bagian Kedua
Tata Cara Untuk Kegiatan Penyiapan Lahan
Dalam Pembangunan Hutan Tanaman
Pasal 35
(1) Pejabat penagih SPP-GR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4), menerbitkan
SPP-GR berdasarkan harga patokan yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan setelah
dikurangi kewajiban PSDH, DR dan biaya produksi.
(2) Biaya produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Menteri, dengan
memperhatikan pertimbangan Direktur Jenderal dan masukan dari Asosiasi Pengusaha
Hutan Indonesia (APHI) dan dapat diterbitkan setiap 6 (enam) bulan.
Pasal 36
(1) SPP-GR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) ditembuskan kepada:
a. Lembar pertama untuk wajib bayar;
b. Lembar kedua untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
c. Lembar ketiga untuk Kepala Dinas Propinsi;
d. Lembar keempat untuk Kepala Balai; dan
e. Lembar kelima untuk arsip pejabat penagih.
(2) Berdasarkan SPP-GR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUPHHK-HT
melakukan pembayaran ke Rekening Bendaharawan Penerima MK PNBP Ganti Rugi Nilai
Tegakan Nomor 102 0005361917 pada Bank Mandiri Cabang Jakarta Gedung Pusat
Kehutanan.
(3) Bukti setor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan kepada Kepala Balai dan
kepada Pejabat Penerbit SKSKB untuk diterbitkan Surat Keterangan Sah Kayu Bulat
(SKSKB).
(4) Kepala Balai setiap 3 (tiga) bulan sekali wajib menyampaikan laporan atas penerbitan SPPGR
kepada Direktur Jenderal, dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal dan Kepala
Dinas Propinsi.
Bagian Ketiga
Tata Cara Untuk Areal Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan Areal Kawasan Hutan
Yang Telah Dilepas Dan Dibebani Hak Guna Usaha (HGU)
Pasal 37
(1) Pejabat penagih SPP-GR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf f dan Pasal 29 huruf
c, menerbitkan SPP-GR berdasarkan harga patokan yang ditetapkan oleh Menteri
Perdagangan setelah dikurangi kewajiban PSDH, DR dan biaya produksi.
/(2) Biaya...
~ 18 ~
(2) Biaya produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Menteri, dengan
memperhatikan pertimbangan Direktur Jenderal dan masukan dari Asosiasi Pengusaha
Hutan Indonesia (APHI) dan dapat diterbitkan setiap 6 (enam) bulan.
Pasal 38
(1) SPP-GR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf f dan Pasal 29 huruf c, ditembuskan
kepada:
a. Lembar pertama untuk wajib bayar;
b. Lembar kedua untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
c. Lembar ketiga untuk Kepala Dinas Propinsi;
d. Lembar keempat untuk Kepala Balai; dan
e. Lembar kelima untuk arsip pejabat penagih.
(2) Berdasarkan SPP-GR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang izin pinjam pakai
kawasan hutan dan pemegang HGU melakukan pembayaran ke Rekening Bendaharawan
Penerima MK PNBP Ganti Rugi Nilai Tegakan Nomor 102 0005361917 pada Bank
Mandiri Cabang Jakarta Gedung Pusat Kehutanan.
(3) Bukti setor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan kepada Kepala Balai dan
kepada Pejabat Penerbit SKSKB untuk diterbitkan Surat Keterangan Sah Kayu Bulat
(SKSKB).
(4) Kepala Balai setiap 3 (tiga) bulan sekali wajib menyampaikan laporan atas penerbitan SPPGR
kepada Direktur Jenderal, dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal dan Kepala
Dinas Propinsi.
(5) Format blanko SPP-GR, sebagaimana tercantum pada lampiran Peraturan ini.
BAB VII
HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN
BAGI PEMEGANG IZIN PEMANFAATAN KAYU
Pasal 39
Pemegang IPK mempunyai hak sebagai berikut:
a. melaksanakan kegiatan penebangan kayu sesuai dengan izin yang diberikan; dan
b. melaksanakan kegiatan pengangkutan, pengolahan dan atau pemasaran atas hasil hutan
kayu sebagaimana dimaksud butir a, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 40
Pemegang IPK wajib melaksanakan ketentuan sebagai berikut:
a. membayar penggantian nilai tegakan dari IPK;
b. membayar PSDH dan DR;
c. membuat dan menyampaikan laporan bulanan atas pelaksanaan kegiatan IPK sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
/d. melaksanakan...
~ 19 ~
d. melaksanakan kegiatan nyata di lapangan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterbitkannya IPK;
e. melaksanakan kegiatan IPK berdasarkan Bagan Kerja;
f. melaksanakan penatausahaan hasil hutan dari areal IPK sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
g. mengamankan areal IPK dari berbagai macam gangguan keamanan dan kebakaran hutan;
dan
h. menaati segala ketentuan di bidang kehutanan.
Pasal 41
Dalam mencegah penyalahgunaan IPK untuk kegiatan perkebunan, maka IPK dilakukan :
a. untuk luas IPK tahap I disesuaikan dengan ketersediaan jumlah bibit tanaman perkebunan
yang tersedia; dan
b. pemberian luas IPK tahap berikutnya diberikan berdasarkan kemampuan realisasi luas
penanaman tanaman perkebunan pada tahap I IPK.
BAB VIII
PERPANJANGAN IZIN PEMANFAATAN KAYU
Pasal 42
(1) IPK diberikan paling lama untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, dan dapat diperpanjang 1
(satu) kali.
(2) Permohonan perpanjangan IPK disampaikan kepada Pejabat Penerbit IPK sesuai
kewenangannya, dan diajukan 2 (dua) bulan sebelum IPK berakhir.
Pasal 43
(1) Permohonan perpanjangan IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), dilampiri
dengan persyaratan:
a. peta lokasi yang dimohon;
b. laporan kemajuan pelaksanaan penggunaan lahan;
c. laporan realisasi pelaksanaan IPK dari tahun sebelumnya; dan
d. tanda bukti pelunasan pembayaran PSDH dan DR serta penggantian nilai tegakan dari
pelaksanaan IPK tahun sebelumnya.
(2) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi, diterbitkan
perpanjangan IPK oleh pejabat penerbit IPK.
BAB IX
PERALATAN UNTUK KEGIATAN IPK
Pasal 44
(1) IPK yang diberikan kepada pemegang izin dan izin pinjam pakai kawasan hutan, termasuk
dan berlaku juga sebagai Izin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan ke dalam areal Izin
Pemanfaatan Kayu dalam rangka pelaksanaan kegiatan izin.
/(2) Kebutuhan...
~ 20 ~
(2) Kebutuhan jumlah alat bagi pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), cukup melaporkan kepada Kepala Dinas Propinsi.
Pasal 45
(1) Kebutuhan jumlah alat pada IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1),
disesuaikan dengan kebutuhan luas areal kerja IPK dan potensi kayu yang sekaligus
dicantumkan dalam Keputusan pemberian IPK.
(2) Pemegang IPK yang akan menambah, mengurangi atau mengganti alat, wajib melaporkan
kepada pejabat penerbit izin IPK.
(3) Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan yang akan menambah, mengurangi atau
mengganti alat, wajib melaporkan kepada Kepala Dinas Propinsi.
Pasal 46
(1) Dalam hal terdapat kayu hasil penebangan IPK yang masih berada dalam areal kerja,
sedangkan IPK tersebut telah berakhir, dapat diterbitkan izin alat untuk kepentingan
mengangkut kayu dimaksud.
(2) Izin alat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan oleh pejabat penerbit IPK
sesuai kewenangannya.
BAB X
PEMBINAAN, PENGENDALIAN, DAN PELAPORAN
BAGI PELAKSANAAN IZIN PEMANFAATAN KAYU
Pasal 47
(1) Direktur Jenderal melakukan pembinaan dan pengendalian teknis atas pelaksanaan IPK
yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Propinsi.
(2) Kepala Dinas Propinsi melakukan pembinaan dan pengendalian teknis atas pelaksanaan
IPK yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
Pasal 48
(1) Kepala Dinas Propinsi melakukan pengendalian atas pelaksanaan IPK yang diterbitkan
sesuai kewenangannya.
(2) Kepala Dinas Kabupaten/Kota melakukan pengendalian atas pelaksanaan IPK yang
diterbitkan sesuai kewenangannya.
Pasal 49
(1) Pemegang IPK wajib menyampaikan laporan bulanan atas realisasi IPK kepada Kepala
Dinas Propinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
/(2) Kepala...
~ 21 ~
(2) Kepala Dinas Propinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota wajib membuat dan
menyampaikan rekapitulasi laporan bulanan kepada Direktur Jenderal atas realisasi IPK.
BAB XI
HAPUSNYA DAN SANKSI BAGI IZIN PEMANFAATAN KAYU
Bagian Kesatu
Hapusnya Izin Pemanfaatan Kayu
Pasal 50
(1) IPK hapus karena:
a. jangka waktu yang diberikan telah berakhir;
b. dicabut oleh pemberi izin sebagai sanksi; atau
c. diserahkan kembali kepada pemberi izin sebelum jangka waktu izin berakhir.
(2) Dengan berakhirnya IPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak menghapus
kewajiban pemegang izin untuk:
a. melunasi pembayaran PSDH dan DR;
b. melunasi pembayaran penggantian nilai tegakan; atau
c. melaksanakan semua ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam rangka berakhirnya
IPK sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Bagian Kedua
Sanksi Bagi Izin Pemanfaatan Kayu
Pasal 51
(1) IPK dapat dicabut, apabila pemegang IPK:
a. tidak melaksanakan kegiatan pemanfaatan kayu secara nyata dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak diterbitkannya IPK;
b. meninggalkan areal IPK selama 45 (empat puluh lima) hari berturut-turut sebelum IPK
berakhir;
c. memindahtangankan IPK tanpa seizin pemberi izin; atau
d. melakukan tindak pidana kehutanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004.
(2) Sanksi pencabutan terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
b, dan c didahului dengan peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu
masing-masing peringatan 20 (dua puluh) hari kerja, oleh pemberi izin.
(3) Sanksi pencabutan terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
tanpa diberi peringatan terlebih dahulu setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.
/Pasal 52...
~ 22 ~
Pasal 52
(1) Pemegang IPK atau pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dikenakan sanksi:
a. Pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2004, apabila melakukan penebangan diluar areal izin peruntukan dan/atau
izin pinjam pakai.
b. Denda sebesar 15 kali PSDH dan ditambah membayar PSDH, DR dan penggantian nilai
tegakan kayu, apabila :
1. Melakukan penebangan di luar areal IPK tetapi masih di dalam areal izin peruntukan.
2. Melakukan pembukaan lahan dengan tidak melaksanakan secara bertahap sesuai
dengan rencana kerja pembukaan lahan tahunan yang telah ditetapkan dalam izin
pinjam pakai kawasan hutan.
3. Melakukan penebangan sebelum IPK diterbitkan.
4. Tidak membuat LHP atas kayu yang ditebang.
c. Penghentian sementara kegiatan di lapangan, apabila tidak melaporkan penambahan,
pengurangan atau penggantian peralatan.
(2) Pemegang izin sah lainnya (seperti izin perkebunan, transmigrasi, dan lain-lain) dikenakan
sanksi:
a. Pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2004, apabila melakukan penebangan diluar areal izin peruntukan.
b. Denda sebesar 15 kali PSDH dan ditambah membayar PSDH, DR dan penggantian nilai
tegakan kayu, apabila melakukan penebangan di areal izin peruntukannya, tanpa
memiliki IPK untuk volume tegakan lebih dari 50 meter kubik.
(3) Tata cara pengenaan sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
huruf c dan ayat (2) huruf b, mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan yang mengatur
tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan
Hutan.
BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 53
(1) Mekanisme pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) diatur sebagaimana
pemanfaatan kayu sesuai Peraturan ini.
(2) Dalam hal pada areal yang akan dibebani IPK terdapat hasil hutan bukan kayu (HHBK),
izin pemanfaatannya dimasukkan dalam IPK.
/BAB...
~ 23 ~
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
(1) IPK yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-
II/2009, tetap berlaku sampai dengan izin berakhir.
(2) Permohonan IPK yang telah diajukan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.58/Menhut-II/2009, tahap selanjutnya diproses sesuai dengan Peraturan ini.
(3) Khusus permohonan IPK pada HPK yang telah dikonversi dan telah diajukan
permohonannya kepada Bupati/Walikota berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.58/Menhut-II/2009, berkas permohonan diserahkan kepada Dinas Kehutanan
Propinsi untuk diproses sesuai dengan Peraturan ini.
Pasal 55
Bagi Izin Pinjam Pakai Kawasan hutan yang telah terbit sebelum berlakunya Peraturan ini,
sudah termasuk sebagai izin pemanfaatan kayu, izin pemasukan dan penggunaan peralatan
dalam rangka pelaksanaan kegiatan pembukaan lahan.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Pada saat Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku:
a. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2009 tentang Penggantian Nilai
Tegakan Dari Izin Pemanfaatan Kayu Dan Atau Dari Penyiapan Lahan Dalam Pembangunan
Hutan Tanaman;
b. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.4/Menhut-II/2008 tentang Norma Standar,
Prosedur Kriteria Pemberian Izin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan Untuk Kegiatan
Izin Pemanfaatan Kayu; dan
c. Khusus ketentuan izin peralatan untuk kegiatan Izin Pemanfaatan Kayu, sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/Menhut-II/2009 tentang
Pemasukan dan Penggunaan Alat Untuk Kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Atau Izin
Pemanfaatan Kayu,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
/Pasal 57...
~ 24 ~
Pasal 57
Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Maret 2011
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ZULKIFLI HASAN
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Maret 2011
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 142
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
ttd.
KRISNA RYA, SH, MH
NIP. 19590730 199003 1 001
Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan tentang Izin Pemanfaatan Kayu
Nomor : P. 14/Menhut-II/2011
Tanggal : 10 Maret 2011
SURAT PERINTAH PEMBAYARAN PENGGANTIAN NILAI TEGAKAN (SPP-GR)
Nomor :
No. Urut Bulan Tahun
I. IDENTITAS PERUSAHAAN
1. Nama Perusahaan : ...........................................................................................
2. Referensi 15 Digit :
3. Alamat : ...........................................................................................
...........................................................................................
4. Lokasi Tebangan : ...........................................................................................
...........................................................................................
II. PERHITUNGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN
1. a. SPP GR = Harga Patokan – (PSDH + DR + Biaya Produksi)
b. Nilai Kurs US$ : ...........................................................................................
2. LHP
a. Nomor : ...........................................................................................
b. Tanggal : ...........................................................................................
3. Jumlah Kewajiban Pembayaran
No. Kelompok Jenis Volume (M3/SM/Ton) Jumlah (Rp) Keterangan
Jumlah
III. BANK PENERIMA SETORAN
Penyetoran Ganti Rugi Nilai Tegakan (GRT) untuk rekening Bendaharawan Penerima
Setoran Ganti Rugi Nilai Tegakan pada Bank Mandiri Jakarta Gedung Pusat Kehutanan
Nomor Rekening 102-00-0536191-7.
Tanggal, bulan, tahun diterbitkan
Pejabat Penagih,
_____________________________
Catatan: NIP./No. Reg. ................................
- Lembar Pertama untuk Wajib Bayar;
- Lembar Kedua untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
- Lembar Ketiga untuk Kepala Dinas Provinsi;
- Lembar Keempat untuk UPT Ditjen BPK;
- Lembar Kelima untuk Arsip Pejabat Penagih.
Salinan sesuai dengan aslinya MENTERI KEHUTANAN
Kepala Biro Hukum dan Organisasi REPUBLIK INDONESIA,
ttd. ttd.
KRISNA RYA, SH, MH ZULKIFLI HASAN
NIP. 19590730 199003 1 001
Baca SelengkapnyaPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU