INDENTIFIKASI POHON PULAI

PULAI

Taksonomi dan tatanama
Famili: Apocynaceae
Sinonim: Echites scholaris L., E. pala Ham.,Tabernaemontana alternifolia Burm.
Nama lokal/daerah: pulai.

Penyebaran dan habitat
Tersebar luas di Asia Pasifik mulai India dan Sri Lanka sampai daratan Asia Tenggara dan China Selatan, seluruh Malaysia hingga Australia Utara dan Kepulauan Solomon. Diintroduksi ke Amerika Utara sebagai tanaman hias. Toleran terhada berbagai-macam tanah dan habitat, dijumpai sebagai tanaman kecil yang tumbuh di atas karang atau bagian tajuk dari hutan primer dan sekunder. Banyak dijumpai di dataran rendah/ pesisir dengan curah hujan tahunan 1000- 3800 mm. Juga dijumpai pada ketinggian diatas 1000 m dpl. Salah satu sifat adalah dapat tumbuh di atas tanah dangkal Tidak tumbuhy pada sebaran alami yang suhunya kurang dari 8ºC, yang menunjukkan jenis ini tidak tahan udara dingin.

Pemanfaatan
Kayunya tidak awet, hanya memungkinkan untuk konstuksi ringan di dalam ruangan, atau untuk i pulp dan kertas. Di Patana (Srilanka) digunakan untuk kayu bakar dan dikelola dengan daur pendek (6-8 tahun), tetapi kurang baik dijadikan arang. Kulitnya mengandung alkaloid sebagai bahan obat. Kayunya banyak digunakan untuk papan tulissekolah, sehingga dinamakan scholaris.
Lukisan pohon
Pohon, yang tingginya dapat lebih dari 40 m. Batang pohon tua beralur sangat jelas, sayatan berwarna krem dan banyak mengeluarkan getah berwarna putih. Daun tersusun melingkar berbentuk lonjong atau elip. Panjang bunga lebih dari 1 cm, berwarna krem atau hijau, pada percabangan, panjang runjung bunga lebih dar 120 cm.

Diskripsi buah dan benih
Buah: Kering merekah, bumbung bercuping dua, sedikit berkayu, panjang 15-32 cm, berisi banyak benih.
Benih: panjang 4-5 mm, coklat, pipih memanjang, dua ikat benang pada ujungnya dengan panjang 7-13 mm. Benih dapat disebar angin. Jumlah benih 37.000-87.000 butir/kg.

A. Pembungaan dan pembuahan
Termasuk jenis selalu hijau/tidak gugur daun. Di Australia berbunga pada Oktober-Desember. Di Sri Lanka, berbubnga dua periode setiap tahun yaitu April-Juni dan Oktober-Nopember.. Musim panen di Sri Lanka Pebruari. Di Laos berbunga pada akhir musim hujan dan benihnya dikumpulkan februari-Maret. Di Vietnam, berbunga Agustus- September,dan berbuah Januari-februari.

B. kriteria buah masak fisiologis
Buah dipetik langsung dari pohon atau dikumpulkan dari lantai hutan setelah dahannya digoyang. Benih masak apabila buah telah berubah menjadi
coklat, tetapi pengumpulan harus dilakukan sebelum buah merekah dan benihnya tersebar. Pengumpulan harus tepat waktu, periode buah masak
hingga merekah hanya 2 minggu.

C. Sifat benih dan cara pensngannannya
Setelah dipanen buah dijemursampai terbuka dan benihnya terlepasbiasanya sekitar satu minggu. Bila buah dipanen sebelum masak, perlu dilakukan pemeraman. Benih sangat kecil dan mudah tertiup angin selama pengeringan. Resiko ini dapat dikurangi dengan cara menutupkan jaring plastik selama penjemuran. Di beberapa tempat bulu benih dihilangkan, tetapi belum diketahui pengaruhnya terhadap penyimpanan dan viabilitas benih.

Penyimpanan dan viabilitas
Fisiologi penyimpanan belum diketahui, tetapi benih ukuran kecil ini kenyataanya dapat dikeringkan, yang menunjukkan benih ortodoks. Benih segar berdaya kecambah tinggi, mendekati 100%, tetapi cepat kehilangan viabilitasnya. Benih yang disimpan selama 2 bulan dalam wadah kedap udara, dilaporkan dapat berkecambah 90%. Tidak diketahui apakah benih ini bisa bertahan padasuhu rendah.

Dormansi dan perlakuan pendahuluan
Benih segar tidak mengalami dormansi sehinggatidak perlu perlakuan pendahuluan. Kemungkinanadanya dormasi sekunder perlu penyelidikan lebihlanjut.

Penaburan dan perkecambahan
Tidak ada persyaratan khusus untuk penaburan, kecuali memerlukan sinar matahari penuh.Dengan sedikit ditutup setelah penaburan, penyinaran dan penyiraman yang teratur, benih mulai berkecambah setelah 12 hari dan berlanjut sampai 3 bulan.
Bibit siap tanam berukuran 30 cm setelah berumur9-12 bulan. Stum yang berdiameter leher akarnya6 mm juga dapat ditanam. Sambungan juga dapatdilakukan untuk jenis ini

DAFTAR PUSTAKA

http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/IFSP/Alstonia_scholaris.pdf
Doran JC, Turnbull JW, 1997. Australian trees and shrubs: Species for land rehabilitation and farm planting in the tropics. ACIAR Monograph No. 24. 384 pp.
Holmes CH, 1954. Seed germination and seedling studies of timber trees of Ceylon. Ceylon Forester,1(3):3-51.

Nguyen Ngoc Chinh et al., 1996. Vietnam forest trees. Hanoi, Vietnam: Agricultural Publishing House. 788p.

Soerianegara I, Lemmens RHMJ, eds., 1993. Plant Resources of South-East Asia No. 5(1). Timber trees: major commercial timbers. Wageningen, Netherlands: Pudoc Scientific Publishers. Also published by Prosea Foundation, Bogor, Indonesia. Pohon Alstonia scholaris (L.) R.Br. yang sedang berbuah. Photo: Dorthe Jøker, DFSC
Baca SelengkapnyaINDENTIFIKASI POHON PULAI

Budidaya ACACIA MANGIUM

ACACIA MANGIUM
A. Umum
Acacia mangium termasuk jenis Legum yang tumbuh cepat, tidak memerlukan
persyaratan tumbuh yang tinggi dan tidak begitu terpengaruh oleh jenis tanahnya.
Kayunya bernilai ekonomi karena merupakan bahan yang baik untuk finir serta
perabot rumah yang menarik seperti: lemari, kusen pintu, dan jendela serta baik
untuk bahan bakar. Tanaman A. mangium yang berumur tujuh dan delapan tahun
menghasilkan kayu yang dapat dibuat untuk papan partikel yang baik.
Faktor yang lain yang mendorong pengembangan jenis ini adalah sifat pertumbuhan
yang cepat. Pada lahan yang baik, umur 9 tahun telah mencapai tinggi 23 meter
dengan rata-rata kenaikan diameter 2 - 3 meter dengan hasil produksi 415 m3/ha
atau rata-rata 46 m3/ha/tahun. Pada areal yang ditumbuhi alang-alang umur 13
tahun mencapai tinggi 25 meter dengan diameter rata-rata 27 cm serta hasil
produksi rata-rata 20 m3/ha/tahun.
Kayu A. mangium termasuk dalam kelas kuat III-IV, berat 0,56 - 0,60 dengan nilai
kalori rata-rata antara 4800 - 4900 k.cal/kg
B. Keterangan botani
A. mangium termasuk dalam sub famili Mimosoideae, famili Leguminosae dan ordo
Rosales. Pada umumnya A. mangium mencapai tinggi lebih dari 15 meter, kecuali
pada tempat yang kurang menguntungkan akan tumbuh lebih kecil antara 7 - 10
meter.Pohon A. mangium yang tua biasanya berkayu keras, kasar, beralur
longitudinal dan warnanya bervariasi mulai dari coklat gelap sampai terang. Dapat
dikemukakan pula bahwa bibit A. mangium yang baru berkecambah memiliki daun
majemuk yang terdiri dari banyak anak daun. Daun ini sama dengan sub famili
Mimosoideae misalnya Paraseanthes falcataria, Leucaena sp, setelah tumbuh
beberapa minggu A. mangium tidak menghasilkan lagi daun sesungguhnya tetapi
tangkai daun sumbu utama setiap daun majemuk tumbuh melebar dan berubah
menjadi phyllodae atau pohyllocladus yang dikenal dengan daun semu, phyllocladus
kelihatan seperti daun tumbuh umumnya. Bentuknya sederhana tulang daunnya
paralel dan besarnya sekitar 25 cm x 10 cm.
C. Tempat tumbuh
1. Penyebaran. A. mangium tumbuh secara alami di Maluku dengan jenis
Melaleuca leucadendron. Selain itu terdapat pula di pantai Australia bagian
utara, Papua bagian selatan (Fak-fak di Aguada (Babo) dan Tomage (Rokas,
Kepulauan Aru, Maluku dan Seram bagian barat).
2. Persyaratan tempat tumbuh. A. mangium tidak memiliki persyaratan
tumbuh yang tinggi, dapat tumbuh pada lahan miskin dan tidak subur. A.
mangium dapat tumbuh baik pada lahan yang mengalami erosi, berbatu dan
tanah Alluvial serta tanah yang memiliki pH rendah (4,2). Tumbuh pada
ketinggian antara 30 - 130 m dpl, dengan curah hujan bervariasi antara 1.000
mm - 4.500 mm setiap tahun. Seperti jenis pionir yang cepat tumbuh dan
berdaun lebar, jenis A. mangium sangat membutuhkan sinar matahari,

apabila mendapatkan naungan akan tumbuh kurang sempurna dengan
bentuk tinggi dan kurus.
D. Persiapan lapangan
1. Penataan lapangan. Penataan areal penanaman dimaksudkan untuk
mengatur tempat dan waktu, pengawasan serta keperluan pengelolaan hutan
lebih lanjut. Areal dibagi menjadi blok-blok tata hutan dan blok dibagi menjadi
peta-petak tata hutan. Unit-unit ini ditandai dengan patok dan digambar di
atas peta dengan skala 1 : 10.000. Batas-batas blok dapat dipakai berupa
batas alam seperti sungai, punggung bukit atau batas buatan seperti jalan,
patok kayu atau beton.
2. Pembersihan lapangan. Beberapa kegiatan yang dilakukan sebelum
penanaman meliputi :
a. Menebang pohon-pohon sisa dan meninggalkan pohon yang di larang
ditebang
b. Mengumpulkan semak belukar, alang-alang dan rumput-rumputan
c. Sampah-sampah yang telah terkumpul dibakar.
3. Pengolahan tanah. Pengolahan tanah diperlukan pada tanah-tanah yang
padat dengan cara sebagai berikut :
a. Tanah dicangkul sedalam 20 - 25 cm kemudian dibalik
b. Bungkalan-bungkalan tanah dihancurkan, akar-akar dikumpulkan,
dijemur dan dibakar
c. Tanah pada jalur-jalur tanaman dihaluskan dan dibersihkan, kemudian
dibuat lubang tanaman
E. Penanaman dan pemeliharaan.
1. Pengangkutan bibit. Pengangkutan bibit dari persemaian ke lokasi
penanaman harus dilakukan dengan hati-hati agar bibit tidak mengalami
kerusakan selama dalam perjalanan. Bibit yang telah diseleksi dimasukan ke
dalam peti atau keranjang dan disarankan agar bibit tidak ditumpuk. Bibit
disusun rapat hingga tidak bergerak jika dibawa. Jumlah bibit yang diangkut
ke lapangan hendaknya disesuaikan dengan kemampuan menanam. Bibit
yang diangkut diusahakan bibit yang sehat dan segar. Hindarkan bibit dari
panas matahari dan supaya disimpan di tempat teduh dan terlindung.
2. Waktu penanaman. Penanaman dilakukan setelah hujan lebat pada musim
hujan, yaitu dalam bulan Oktober sampai Januari. Pengamatan mulainya
hujan lebat sangat perlu, karena bibit yang baru ditanam menghendaki
banyak air dan udara lembab. Bibit yang ditanam ke lapangan adalah bibit
yang telah berumur 3-4 bulan di bedeng sapih dengan ukuran tinggi 25-30
cm.
3. Teknik penanaman. Bibit ditanam tegak sedalam leher akar. Apabila
terdapat akar cabang yang menerobos keluar dari tanah dalam kantong
plastik, dipotong aga tidak tertanam terlipat dalam lubang tanaman. Sebelum
ditanam, tanah dalam kantong plastik dipadatkan lalu kantong plastik dibuka
perlahan-lahan, tanah serta bibit di keluarkan baru ditanam. Bibit ditanam
berdiri tegak pada lubang yang telah dibuat pada setiap ajir, kemudian diisi
dengan tanah gembur sampai leher akar. Tanah yang ada di sekelilingnya
ditekan agar menjadi padat.
4. Pemeliharaan. Meliputi kegiatan penyiangan, penyulaman, pendangiran dan
pemupukan, kegiatan pemeliharaan dilakukan tiga bulan sekali selama 2
tahun stelah penanaman di lapangan.
a. Penyiangan. Kegiatan ini bertujuan untuk membebaskan tanaman
pokok dan belukar dan tumbuhan pengganggu lainnya. Oleh karena itu
penyiangan dilakukan terutama pada tahun pertama dan kedua.
Penyiangan dikerjakan sepanjang kiri-kanan larikan tanaman selebar
50 cm.
b. Penyulaman. Penyulaman dilakukan pada tahun pertama selama
musim hujan. Tanaman yang mati atau merana disulam dengan bibit
dari persemaian dan diulang selama hujan masih cukup. Apabila lahan
di sekitar tanaman sangat terbuka maka dapat diberi mulsa.
c. Pendangiran. Kegiatan ini dilaksanakan bersama dengan penyiangan
di mana tanah di sekitar tanaman akan digemburkan lebih kurang
seluas lubang tanam
d. Pemupukan. Pemupukan diberikan setelah dilakukan penyiangan dan
pendangiran, pupuk ditaburkan di sekeliling tanaman Akasia mengikuti
alur lubang tanaman dan ditimbun tanah. Pupuk yang digunakan dapat
merupakan campuran yang membentuk kandungan NPK dapat pula
digunakan urea; TSP; KCL dengan perbandingan 1 : 2 : 1. Pemberian
pupuk disesuaikan dengan pengalaman dalam pemberian pupuk.
5. Hama dan penyakit. Adanya semut (Componotus sp) dan rayap
(Coptotermes sp) yang membuat sarang pada bagian dalam kayu A.
mangium, mengakibatkan menurunnya kualitas kayu. Dari hasil pengamatan
didapatkan A. mangium terserang oleh Xystrocera sp. famili Cerambicidae
yang biasa menggerek kayu Paraserianthes falcataria, selain itu sejenis ulat
belum diketahui jenisnya telah menyebabkan gugurnya daun A. mangium.
Beberapa jensi serangga A. mangium :
a. Ropica grisepsparsa, menyerang bagian batang
b. Platypus sp, menyerang bagian batang
c. Xylosandrus semipacus, menyerang bagian batang
d. Pterotama plagiopheles, menyerang daun.
e. Ulat pelipat daun, menyerang daun.
Pengguguran daun pada anakan A. mangium disebabkan oleh Hyponeces
squamosus tetapi pohon dapat tumbuh kembali. Seperti pada Acacia yang
lain, A. mangium juga muda terserang oleh hama terutama pada masa
sapihan dan anakan.
Sumber : Badan LITBANG Departemen Kehutanan. 1994. Pedoman teknis
penanaman jenis-jenis kayu komersial.
Baca SelengkapnyaBudidaya ACACIA MANGIUM

Malam Calon Rimbawan 2007

Malam Calon Rimbawan 2007




Baca SelengkapnyaMalam Calon Rimbawan 2007

Bahan kuliah Silvika (Fotosintesis)

III. FOTOSINTESA
Fotosintesa adalah proses dimana karbohidrat dibuat dari karbondioksida dan air di dalam jaringan tumbuhan yang mengandung chloropyll yang dikenai oleh sinar matahari. Tidak dapat disangkal bahwa fotosintesa adalah proses pisikologis paling penting yang terjadi didalam pohon, karena pertumbuhanya bergantung kepada karbohidrat yang diproduksi oleh fotosintesa ini.
Fotosintesa merupakan proses penyimpanan energi cahaya diubah bentuknya menjadi energi kimiawi, yang selanjutnya disimpan dalam karboidrat. Proses ini hannya berlangsung didalam jaringan hijau, karena chloropyll memegang peranan yang sangat penting didalam mengabsorbsi energi cahaya dan merubahannya menjadi energi kimiwai. Harus kita ingat bahwa energi yang diperlukan untuk produksi kayu adalah energi cahaya yang telah dirubah menjadi energi kimiawi dalam proses fotosintintesa.
Pertumbuhan yang baik dari tumbuhan terutama pohon sangat bergantung pada kemampuanya untuk membuat bahan makanan dan merubahnya menjadi kayu. Pohon mempergunakan zat makanan yang sama seperti hewan, yaitu karbohidrat, lemak, dan protein. Namun pohon dan tumbuhan hijau lainya dapat membuat makanannya sendiri dari karbon dioksida, air, dan hara mineral tertentu. Langkah pertama dalam pembuatan bahan makanan ini adalah proses fotosintesa, yang seringkali dinyatakan sebagai berikut :
6CO¬2 + 12H2O
Dengan kata lain cahaya diabsorbsi oleh ‘chloroplast’ dan dipakai untuk memecah hidrogen yang berasal dari air kemudian mencampurnya dengan karbon dioksida untuk membentuk senyawa-senyawa intermediate yang kemudian menghasilkan karbohidrat-karbohidrat. Ini adalah suatu proses yang sangat kompleks. Yang harus diingat ialah bahwa fotosintesa adalah proses menyimpan enersi, dimana enersi cahaya ditangkap oleh chlorophyll dan dipakai untuk mentransfer hidrogen yang berasal dari air ke CO2 dan akhirnya disimpan sebagai enersi kimiawi dalam ikatan molekul-molekul karbohidrat yang dihasilkan.
Dari segi fisiologis, praktek-praktek pengusahaan hutan haruslah ditujukan kepada :
1) Mengadakan jumlah fotosintesa per ha yang semaksimal mungkin.
2) Mengadakan konversi dari sebanyak mungkin fotosintat menjadi hasil-hasil hutan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fotosintesa
Variasi besarnya fotosintesa dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan dan faktor-faktor pohon yang kompleks, yang seringkali saling mempengaruhi. Pada hari-hari tertentu mula-mula suatu faktor dan kemudian faktor lainnya yang menjadi pembatas. Misalnya, dipagi hari fotosintesa seringkali berkorelasi dengan intensitas cahaya, namun di siang hari fotosintesa dibatasi oleh kandungan air daun, oleh karena ini mempengaruhi pembukaan stomata dan masuknya karbon dioksida. Faktor-faktor lingkungan utama yang mempengaruhi fotosintesa pada pohon adalah cahaya, temperatur, konsentrasi karbon dioksida di udara, air tanah, kesuburan tanah, fungi, dan penyakit.
Faktor-faktor Tanaman
Di antara faktor-faktor terpenting yang mempengaruhi fotosintesa adalah umur dan struktur daun, banyaknya stomata dan pembukaan stomata, kandungan chlorophyll, susunan dan areal daun. Lobang stomata penting, terutama karena kebanyakan dari CO2 yang dipakai dalam fotosintesa masuk melalui stomata. Penutupan stomata akan disertai dengan pengurangan yang drastis dalam fotosintesa. Ini terutama terjadi pada fotosintesa per satuan areal yang lebih tingii pada daun yang terkena cahaya terang dari pada daun-daun pada naungan, sebagian oleh karena permukaan dalamnya yang lebih besar.
Umur Daun-daun
Output dari fotosintesa berbeda menurut daun. Pada daun-daun yang amat muda jumlah output fotosintat lebih rendah, hal ini terjadi karena sedikitnya jaringan daun dan konsentrasi chlorophyll yang rendah. Fotosintesa biasanya meningkat dengan makin besarnya umur daun sampai tercapai suatu tingkat kedewasaan, dan kemudian menurun semakin bertambah umurnya. Daun-daun yang lebih tua terpaksa untuk bersaing dengan daun-daun terminal, yang lebih muda untuk mendapatkan cahaya, air, dan hara-hara mineral, dan keadaan ini mengakibatkan menurunnya kapasitas fotosintesanya. Biasanya daun-daun yang lebih muda memproduksi sebagian besar jumlah fotosintat. Berkurangnya fotosintesa karena bertambahnya umur biasanya disertai dengan berkurangnya kandungan chlorophyll.
Struktur dan Susunan Daun
Fotosintesa berkorelasi dengan perbedaan dalam struktur daun yang dijumpai di antara spesies, dan bahkan di antara daun-daun di berbagai bagian-bagian dari cabang yang sama. Susunan daun dan kedudukannya penting terutama dalam hubungannya dengan penyinaran oleh cahaya. Rupanya anakan-anakan Pinus kurang efisien di dalam naungan daripada anakan-anakan jenis kayu keras oleh karena struktur daun jarum yang lebih saling menaungi daripada daun-daun dari kebanayakan spesies kayu-kayu keras.
Air Tanah
Air tanah dapat menjadi suatu faktor penting dalam fotosintesa, oleh karena proses fotosintesa menurun dengan adanya defisit air di dalam daun-daun. Oleh karena hanya bagian yang amat kecil dari air yang diabsorbsi pohon-pohon dipakai secara langsung dalam fotosintesa, maka air juga mempengaruhi fotosintesa secara tidak langsung dengan jalan mempengaruhi penutupan stomata, menghalangi pengambilan karbon dioksida.
Dalam tanah yang digenangi air, maka air gravitasi yang berlebih-lebihan akan menggantikan udara dari pori-pori tanah, dan aerasi jelek yang terjadi akan menghalangi pengambilan air oleh akar-akar tumbuh-tumbuhan, sehingga mengakibatkan daun-daun menjadi kering, dan hal ini menyebabkan menurunnya proses fotosintesa.
Kesuburan Tanah
Defisiensi dari hara-hara mineral penting mempunyai efek-efek langsung dan tidak langsung terhadap fotosintesa. Fotosintesa akan didiredusir secara langsung karena berkurangnya sintesa chlorophyll yang seringkali disebabkan defisiensi hara mineral, namun fotosintesa pun diredusir oleh berkurangnya areal daun, yang mungkin disebabkan karena perubahan-perubahan dalam struktur daun dan bahkan karena menurunnya aktivitas stomata.
Pemberian pupuk, terutama unsur nitrogen pada pohon-pohon appel dan Aleuritas ferdii telah memperlihatkan suatu kenaikan dalam proses fotosintesa. Hal ini diakibatkan oleh karena bertambah besarnya areal daun yang meningkatkan fotosintesa per satuan areal daun. Nitrogen dan magnesium adalah komponen-komponen dari molekul chlorophyll dan suatu defisiensi dari mineral-mineral ini akan menghalangi kelangsungan. Defisiensi besi juga meredusir fotosintesa, oleh karena besi diperlukan untuk pembentukan chlorophyll.
Usaha untuk mengadakan permukaan daun yang semaksimal mungkin adalah suatu faktor yang sangat penting dalam menghasilkan jumlah pertumbuhan per ha yang sebesar mungkin. Sudahlah jelas bahwa semakin besar areal daun suatu tegakan akan semakin besar pula fotosintesanya dan semakin lebih besar produksi tahunan dari bahan kering. Tegakan-tegakan pohon tertentu telah diketahui membuat pertumbuhannya yang maksimum dalam stadium tiang (pole) yaitu ketika mereka juga mempunyai jumlah daun-daun yang paling besar.
Karbon Dioksida
Karbon dioksida terdapat dalam konsentrasi rendah di atmosfir dan dibutuhkan dalam jumlah yang besar untuk fotosintesa, dan selanjutnya dikeluarkan dalam kuantitas yang besar dalam respirasi tumbuh-tumbuhan serta hewan. Oleh karena faktor-faktor ini maka jumlah dari gas ini di dalam udara pada setiaap saat berubah-ubah dan berbeda-beda dari satu ke lain tempat. Rata-rata berisi kira-kira 0,03 persen karbon dioksida.
Hujan dan kabut akan mempertinggi kandungan karbon dioksida ini. Karbon dioksida akan dikembalikan ke atmosfir yaitu apabila kayu atau serasah hutan menjadi busuk atau dibakar. Karbon dioksida juga terus-menerus dikeluarkan oleh respirasi organisme-organisme hidup. Karena itu pada umumnya tingkat karbon dioksida lebih tinggi di dekat lantai hutan dimana perombakan bahan organik oleh organisme tanah terjadi secara aktif. Dalam keadaan seperti ini persentase karbon dioksida dapat meningkat sampai 0,18 persen dari volume udara. Oleh karena respirasi juga dilakukan selama malam hari apabila fotosintesa berhenti, maka konsentrasi karbon dioksida dalam hutan mencapai tingkatan yang tertinggi pada malam hari.
Fotosintesa membutuhkan sejumlah besar karbon dioksida yang harus diambil oleh pohon-pohon dari atmosfir. Becker menaksir bahwa rata-rata 12 ton karbon dioksida diperlukan untuk menghasilkan kayu pada suatu areal hutan, suatu jumlah yang cukup besar. Maka jelaslah bahwa kebutuhan pohon akan karbon dioksida hanya dapat dipenuhi dengan pengambilan yang cepat dari gas ini melalui respirasi serta sirkulasinya kepada daun-daunan melalui peredaran udara. Sudah dapat diduga bahwa konsentrasi karbon dioksida di dalam hutan paling rendah adalah selama terjadi periode fotosintesa maksimum yaitu di siang hari.
Jumlah karbon dioksida di udara yang mengelilingi tajuk-tajuk pohon (dari 0,03 sampai 0,04 persen) secara definitif membatasi fotosintesa. Pada konsentrasi-konsentrasi yang relatif begitu rendah, maka fotosintesa mempunyai kecenderungan untuk berubah secara linier dengan konsentrasi karbon dioksida. Di Eropa daun-daun jarum pinus ternyata dapat memprodusir fotosintesa sebanyak tiga kali lebih besar apabila kandungan karbon dioksidanya dipertinggi sampai 0,28 persen dari pada 0,09 persen.
Respirasi
Respirasi penting karena aktivitas ini memberikan energi yang diperlukan untuk assimilasi dan untuk proses-proses lainnya yang mempergunakan energi, seperti sintesa lemak dan protein, absorpsi mineral, dan untuk pemeliharaan struktur dari protoplasma.
Pengetahuan tentang proses respirasi adalah penting untuk memahami secara baik mengenai berbagai segi dari sifat-sifat tanaman. Seringkali pertumbuhan akar dan perkecambahan biji terhalang karena adanya keadaan-keadaan tanah yang membatasi respirasi.
Respirasi sukar untuk didefinisikan dengan tepat, dan dapat diartikan sebagai oksidasi dari bahan makanan di dalam sel-sel hidup, yang disertai dengan pengeluaran enersi. Biasanya respirasi akan disertai dengan pengambilan oksigen, pengeluaran karbon dioksida, dan penurunan dalam berat kering. Respirasi terjadi terus menerus di dalam semua sel-sel hidup dari tumbuh-tumbuhan, dan berjalan dengan amat cepat di dalam daerah-daerah meristematis seperti kambium, ujung-ujung akar dan batang dan di dalam daun-daun muda.
Semua bahan makanan dibuat di dalam daun-daun, tetapi dipergunakan dalam respirasi oleh setiap jaringan tumbuh-tumbuhan yang hidup. Jumlah total bahan makanan yang dipakai respirasi oleh daun-daun ranting-ranting, dan jaringan-jaringan hidup batang serta akar akan besar sekali.
Telah ditaksir bahwa kira-kira sepertiga bagian dari bahan makanan yang dihasilkan melalui fotosintesa dipakai untuk berespirasi, oleh suatu pohon appel yang merumur 8 tahun (Heinicke dan Childers, 1937). Menuru Moller et.al (1954), proporsi dari bahan makanan yang dipakai dalam respirasi akan meningkat dengan bertambah tuanya pohon. Diketahui bahwa kira-kira 40 persen dari produk fotosintesa dipakai dalam respirasi oleh pohon-pohon yang berumur 25 tahun, namun jumlah ini besarnya kira-kira 50 persen pada pohon-pohon yang berumur 85 tahun. Ini terjadi oleh karena rasio jaringan respirasi terhadap jaringan fotosintesa meningkat dengan bertambahnya umur, sedangkan effisiensi peraturan areal daun agak menurun.
Salah satu sebab mengapa pohon-pohon muda tumbuhnya lebih cepat daripada pohon-pohon tua ialah karena mereka mempunyai suatu ratio permukaan fotosintesa terhadap jaringan respirasi yang lebih tinggi dari pada pohon-pohon yang lebih tuan, sehingga dapat memberikan lebih banyak bahan makanan untuk pertumbuhan.
Dapat diduga bahwa suatu pohon yang tumbuh di tempat yang terbuka yang mempunyai suatu tajuk dasar akan mempunyai suatu ratio fotosintesa terhadap respirasi yang lebih tinggi, dan oleh sebab itu akan tumbuh lebih cepat daripada suatu pohon yang tumbuh dalam tegakan tertutup yang mempunyai tajuk yang kecil.
Pada umumnya, hal ini benar namun telah ditemukan bahwa dalam beberapa spesies bahwa cabang-cabang yang lebih besar dan letaknya lebih rendah tidak banyak membantu pertumbuhan batang pohon. Sebagai contoh ternyata bahwa cabang-cabang dapat dipangkas dari dua pertiga bagian terendah dari batang-batang pohon loblolly pine tanpa mengakibatkan pengurangan yang serius dalam pertumbuhan diameter.
Respirasi dari akar dan organisme mempunyai kecenderungan untuk menghabiskan oksigen dan memperbesar konsentrasi dari karbon dioksida. Konsentrasi dari karbon dioksida di dalam tanah biasanya menunjukkan kecenderungan untuk bertambah besar dengan bertambahnya kedalaman tanah, sedangkan konsentrasi oksigen akan menurun.
Suplai oksigen yang cukup untuk respirasi adalah essensiil agar akar-akar dapat terus hidup dan berfungsi, dan suatu konsentrasi karbon dioksida yang amat tinggi bersifat merusak.
Di dalam tanah-tanah yang baik drainasenya, biasanya terdapat pertukaran gas-gas yang cukup di antara tanah dan udara melalui diffusi untuk mencegah perkembangan kondisi yang sangat jelek bagi respirasi akar, namun apabila tanahnya tergenang air atau permukaannya mengeras karena pemadatan maka pertukaran gasa-gas ini sangat teredusir. Di dalam tanah-tanah yang bertekstur halus di tanah-tanah yang mempunyai lapisan-lapisan yang sukar ditembus, biasanya terdapat defisiensi oksigen.
Aerasi yang kurang baik dari akar pohon menyebabkan sejumlah gangguan metabolis. Respirasi akar yang menurun akan mengrangi pertumbuhan akar dan absorpsi mineral-mineral, dan secara tidak langsung mengurangi absorpsi air. Kalau defisiensi oksigen ini sangat serius, akan terjadi respirasi anaerobik.
Temperatur dan Pertumbuhan Pohon
Pada umumnya pertumbuhan meningkat kalau temperatur naik dan menurun apabila temperatur turun. Namun kecepatan tumbuh ini tidak terus menerus bertambah dengan naiknya temperatur, oleh karena pada suatu saat timbullah efek membahayakan dan kecepatan tumbuh menurun.
Kerusakan karena temperatur tinggi dapat disebabkan karena kekeringan dan respirasi yang amat tinggi, sehingga konsumsi bahan makanan akan melebihi produksi oleh fotodintesa. Temperatur mempengaruhi pertumbuhan karena efeknya terhadap semua metabolis seperti : digesti, translokasi, respirasi dan pembangunan protoplast baru dan bahan dinding sel. Temperatur yang tinggi juga memperbesar transpirasi, sehingga mengurangi turgor dan pertumbuhan, terutama di siang hari. Jadi pertumbuhan biasanya bertambah dengan meningkatnya temperatur sampai tercapai suatu temperatur tinggi kritis untuk suatu spesies, dan kemudian pertumbuhan menurun dengan cepat. Penurunan pertumbuhan mungkin disebabkan oleh respirasi berlebih-lebihan yang meredusir karbohidrat, karena penurunan fotosintesa, karena transpirasi berlebihan yang menyebabkan kelayuan atau kombinasi sebab-sebab tersebut.
Pengaruh dari Temperatur Rendah
Penurunan temperatur akan memperlambat aktivitas fisiologis. Penurunan yang tiba-tiba dari temperatur atau temperatur yang amat rendah seringkali menyebabkan kerusakan yang serius. Temperatur adalah suatu faktor penting di daerah pegunungan oleh karena hawa dingin (frost) merupakan suatu faktor pembatas bagi kebanyakan spesies daerah tropis.
Pengaruh dari Temperatur Tinggi
Temperatur yang tinggi seringkali menyebabkan pertumbuhan yang menurun dan luka-luka pada pohon-pohon. Efek ini dapat diakibatkan oleh luka panas secara langsung atau oleh karena gangguan metabolis yang berhubungan dengan respirasi yang amat tinggi atau bahkan dengan pengeringan puncuk.
Efek-efek langsung dari temperatur tinggi : Luka-luka panas yang langsung biasanya lebih banyak terdapat pada anakan-anakan daripada pohon-pohon yang lebih tua. Temperatur udara tinggi seringkali menyebabkan kerusakan-kerusakan batang.
Pengaruh-pengaruh tak langsung dari temperatur tinggi : Temperatur tinggi dapat mengakibatkan menurunnya pertumbuhan oleh karena kehilangan sejumlah besar karbohidrat melalui respirasi yang sebetulnya dapat dipakai untuk pertumbuhan. Pertumbuhan yang buruk dari anakan dipesemaian pada temperatur tinggi dapat diakibatkan oleh keadaan tersebut di atas. Temperatur tinggi juga secara tak langsung dapat mengurangi pertumbuhan dan menyebabkan mengeringnya daun-daun sebagai akibat transpirasi tinggi.
Baca SelengkapnyaBahan kuliah Silvika (Fotosintesis)

Bahan kuliah Silvika

II. TOLERANSI DAN KELAS TAJUK
Definisi umum
Pohon adalah tumbuhan berkayu yang mempunyai suatu batang dan tajuk yang jelas, yang biasanya mempunyai ketinggian sampai sekurang – kurangnya 5 meter. Ini adalah suatu definisi yang sangat umum. Untuk lebih mudahnya jenis pohon dibedakan menurut ukuran kelas tertentu, yaitu:
• Anakan – dimulai perkecambahan sampai mencapai ketinggian 1 m.
• Sapihan, kecil – dimulai dari ketinggian 1 m sampai 3 m.
• Sapihan, besar – dimulai dari ketinggian 3 m, sampai diameter setinggi dada 10 cm.
• Tiang, kecil – dimulai dari garis tengah setinggi dada 10 cm – 20 cm.
• Tiang ,besar – dimulai dari garis tengah setinggi dada 20 cm. – 30 cm.
• Standar – dimulai dari garis tengah setinggi dada 30 cm – 60 cm.
• Veteran – dimulai dari garis setinggi dada lebih dari 60 cm.
Pohon toleran dan Intoleran.
Dikehutanan istilah toleransi berarti kemampuan dari suatu tumbuhan untuk hidup bertahan dibawah naungan. Pohon – pohon yang mempunyai kapasitas ini dinamakan toleran, atau tahan terhadap naungan. Pohon – pohon yang tidak mempunyai sifat – sifat ini disebut intoleran, atau untuk hidup membutuhkan atau menunut adanya cahaya.
Perbedaan – perbedaan terpenting diantara pohon toleran dan intoleran :
1. pohon – pohon toleran dapat memproduksi dan membentuk tegakan bawah dibawah atap – atap tajuk dari pohon intoleran atau bahkan dibawah naungannya sendiri; pohon intoleran hanya mereproduksi dengan sukses ditempat terbuka atau dimana atap tajuk terbuka.
2. apabila pohon toleran membentuk suatu tegakan bawah mereka amat ulet, dan dapat tumbuh selama bertahun – tahun meskipun riapnya amat kecil. Kalau diakhirnya mereka dibebaskan dari pengaruh naungan, meraka akan tumbuh dengan sangat baik. Pohon – pohon intoleran cepat mati dibawah naungan, dan bila dibebasakan sebelum mati, seringkali tidak menunjukan reaksi terhadap pembebasan ini.
3. pohon –pohon toleran mempunyai tajuk yang tebal yang terdiri dari beberapa lapisan daun, dimana lapisan daun yang paling dalam (daun – daun yang dekat pada batang) dapat berfungsi pada cahaya yang amat rendah intensitasnya. Pohon – pohon intoleran mempunyai tajuk yang tipis dan terbuka.
4. pohon – pohon toleran membersihkan batangnya dari ranting – ranting secara perlahan – lahan, oleh karena daun – daunya dapat berfungsi pada cahaya yang amat rendah intensitasnya. Sedangkan jenis – jenis intoleran cepat membersihkan batangnya, oleh karanya itu dapt menghasilkan batang bebas cabang yang lebih tinggi propersinya.
5. batang dari pohon – pohon jenis intoleran adalah lebih silindris dari pada batang pohn – pohon jenis toleran dalam kondisi kerapatan tagakan yang sama, sedangkan bentuk batang pohon toleran lebih banyak menyerupai kerucut.
6. pertumbuhan tinggi diwaktu kecil adalah lebih cepat pada pohon intoleran dari pada pada pohon – pohon jenis toleran.

PENENTUAN TOLERANSI
Beberapa data cara penentuan toleransi dibawah ini dapat dipergunakan :
Kerapatan tajuk.
Kerapatan tajuk memberikan data cara yang tepat untuk penentuan toleransi, oleh karena sejumlah besar daun – daun hidup yang dapat hidup bertahan di dalam tajuk akan memperbesar kerapatan tajuk. Kerpatan tajuk adalah salah satu kriteria toleransi yang terbaik.
Pemangakasan alami.
Kecepatan dimana suatu batang pohon membersihkan diri dari cabang – cabang yang lebih rendah letak nya, terutama pada tegakan – tegakan terbuka, dianggap suatu indikator yang baik dari derajat toleransi, oleh karena kematian dari cabang yang lebih rendah ini terutama disebabkan karena kekurangan cahaya. Pohon pohon intoleran cepat membersihkan diri dari cabang – cabang, sedangakan pohon – pohon toleran ditempat terbuka akan tertutup dengan cabang – cabang sampai permukaan tanah.
Struktur daun
Struktur daun dari banyak pohon – pohon intoleran ditandai oleh suatu epidermis yang berat, keras dan mengkilat, jaringan pagat yang baik, dan suatu parenohyma bunga karang yang kecil. Daun – daun seringkali tebal dan seperti kulit bentuknya. Bentuk daun – daun dari jenis – jenis toleran adalah justru kebalikanya.
Keadaaan pemudaan alami dibawah tegakan.
Keadaan pemudaan alami ditanah di bawah naungan pada dasarnya sebenarnya merupakan indikator yang sebaik – baiknya tentang toleransi. Pertumbuhan yang terjadi dengan baik ditambah lagi dengan sehatnya tumbuh – tumbuhan tersebut dibawah naungan menunjukan bahwa tumbuh – tumbuhan tersebut dapat bertahan dibawah nauangan (toleran)
Sudahlah jelas bahwa tidak ada suatu kriteria toleransi yang paling baik. Toleransi harus dinilai sebagian besar dengan cara – cara yang subjektif, dimana hal – hal penting yang perlu diobservir adalah : kerapatan tajuk, kemampuan membersihkan batang, kemampuan dari permudaan untuk hidup dan tumbuh dibawah atap tajuk yang rapat.
DAFTAR – DAFTAR SPECIES POHON DAN KEBUTUHANNYA AKAN CAHAYA.
a. Sangat membutuhkan cahaya : Adina cordifolia, Bombax malabarikum, Gmelina arborea, Tectona grandis, Casuarina equisetifolia.
b. Membutuhkan cahaya : Acacia leucophloca (pilang), Bauhinia malabarica, Eugenia jambolana, Melia indica, Spondias mangifera (kedondong).
c. Membutuhkan setengah cahaya : Albizzia lebbeck, Dalbergia spp, Sizyphus spp, Lagersomia speciosa (bungur), Vitex pubescens (laban).
d. Tahan naungan : Butea Frondosa, Mangifera indica (mangga), Mimusops elingi (tanjung), Sohleiehera trijuga, Garcinia indica (manggis hutan).
e. Membutuhkan naungan berat : Aegle mermeles, Pongamia glabra, Xylia spp.


PENTINGNYA TOLERANSI DALAM PRAKTEK SILVIKULTUR.
Pengetahuan mengenai toleransi dari berbagai species pohon hutan adalah penting dalam praktek silvikultur. Telah banyak dibuat peraturan – peraturan dan praktek – praktek yang didasarkan kepada toleransi relatif dari pohon – pohon dan tagakan.
Dalam praktek kehutanan di Eropa perhatian khusus telah diberikan kepada efek – efek yang tidak disukai dari tegakan terbuka jenis – jenis intoleran. Pengaruh yang terdiri dari jenis – jenis intoleran pada umumnya tidak disukai disebabkan oleh efek – efek pengeringan dan efek – efek dari angain kering pada permukaan tanah, sehingga tagakan – tagakan seperti itu biasanya ditanami dengan tumbuhan bawah yang terdiri dari jenis – jenis toleran, tegakan – tegakan campuran yang terdiri dari jenis – jenis toleran dan intoleran sangat dianjurkan, oleh karana adanya efek – efek yang menguntungkan dari jenis – jenis toleran dalam melidungi permukaan tanah terhadap matahari angin dan dalam memelihara atau memperbesar produktivitas tanah. Hanya jenis – jenis yang mempunyai tajuk – tajuk rapat dan tumbuh dalam tegakan – tegakan yang atap tajuknya tertutup dapat dianjurkan untuk ditanam sebagai tagakan – tagakan murni. Jenis – jenis pinus intoleran yang tajuknya terbuka diperbolehkan ditanam sebagai tegakan murni selama terdapat suatu tanaman penutup tanah untukmelindungai permukaan tanah.
Sangatlah penting bahwa jenis – jenis toleran dipelihara sedemikian rupa didalam tegakan – tegakan campuran sehingga tidak mengalahkan pohon – pohon intoleran yang disukai.
Jenis toleran mempunyai kemampuan untuk hidup dan bertahan selama waktu yang reletip panjang sebagai tumbuhan bawah : namun jenis intoleran harus tetap tumbuh cukup cepat supaya tajuik mereka tetap berada diatas, jika tidak mereka akan kalah didalam persaingan dengan jenis toleran yaitu apabila jenis ini menjadi lebih agresif dari pada jenis intoleran.
radiasi matahari
Sumber energi utama bagi tumbuhan hijau adalah radiasi sinar matahari. Energi ini diabsorbsi oleh tumbuhan secara langsung sebagai panas dan juga dirubah oleh tumbuhan tersebut menjadi energi kimiawi. Sejak tumbuhan hijau bergantung kepada cahaya matahari untuk mensintesis suplai makanannya, maka cahaya telah lama dikenal sebagai salah satu faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan pemudaan vegetasi. Energi matahari mencapai permukaan bumi sebagai gelombang – gelombang elektromagnetis. Bagian dari energi radiasi yang dapat dilihat mata manusia dinamakan cahaya. Energi yang terdiri dari panjang gelombang yang lebih panjang dari pada 720 mu dinamakan inframerah, dan yang lebih pendek dari pada 409 mu dinamakan ultra-ungu.
cahaya
Pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan tanaman bergantung kepada intensitasnya, kualitas atau panjang gelombangnya, lamanya serta priodisitasnya. Variasi dalam salah satu dari sifat – sifat ini dapat merubah kuantitas dan kualitas pertumbuhan, sebagai contoh anakan – anakan pohon yang tumbuh dalam cahaya berintensitas rendah tidak hanya berbeda tinggi dan berat kering dibandingkan dengan anakan – anakan pohon yang tumbuh dalam cahaya penuh, namun juga berbeda dalam perbandingan akan pucuk dan struktur daun serta batang. Lama penyinaran atau photo period mempengaruhi pertumbuhan vegetatip dan pembangunan, dan panjang gelombang mempengaruhi proses-proses lainya disamping terhadap fotosintesa.
kualitas cahaya atau panjang gelombang
Di alam ini, tumbuh – tumbuhan dikenal pengaruh penyinaran yang tidak tampak yang sangat luas penyebaranya. Termasuk didalamnya sinar inframerah yang lebih panjang panjang gelombangnya dari pada cahaya yang tampak, dan sinar ultra-ungu serta radiasi kosmik yang mempunyai pajang gelomgang lebih pendek dari yang pada cahaya yang tampak. Tumbuh tumbuhan pun dalam eksperimen – eksperimen dapat disinari sinar – sinar x dan bahan – bahan radioaktif. Semua panjang – panjang gelombang yang tak tampak ini dapat mempengaruhi pertumbuhan, apabila lama penyinaran dan intersitasnya cukup lama. Didalam variasi dalam panjang gelombang atau kualitas cahaya adalah sangat kecil, sehingga kepentingan fisiologisnya dapat diabaikan. Namun untuk pertumbuhan tanaman di bawah penyinaran tiruan kualitas cahaya ini sangat penting. Pertambahan yang paling besar dalam berat kering biasanya terjadi pada spektrum sinar matahari.

intensitas cahaya
intensitas cahaya sangat mempengaruhi pertumbuhan pohon melalui effek – effeknya secara langsung terhadap fotosintesis, pembukaan stomata, dan sintesa chlorophyll. Pengaruh intensitas cahaya terhadap pembesaran sel dan differensiasi sel berpengaruh terhadapap tumbuh tunggi, ukuran daun, dan struktur dari daun – daun serta batang.
Intensitas berlainan setiap hari dan stiap musim dan berubah menurut sderajat lintang. Penyinaran yang diterima persatu luas adalah llebih besar pada tampat – tempat tinggi dari pada tempat – tempat rendah. Awan, kabut, debu, dan asap dapat manahan cahaya, dan asap dapat menahan cahaya, dan di daerah – daerah industri sebanyak 90 % dari cahaya tertahan oleh asap. Terdapat literatur yang luas mengenai effek dari intensitas cahaya tehadap pertumbuhan pohon dan tentang reaksi dari berbagai species terhadap intensitas cahaya yang diredusir. Beberapa contoh : species sequoia mempunyai kebutuhan akan cahaya yang amat rendah, sedangkan Picea engelmanni dan Pseudotsuga menzzi membutuhkan cahya kira – kira dua kali lebih banyak untuk tumbuh dengan baik. Telah terbukti bahwa sejumlah species tumbuh – tumbuhan cepat hidup bertahan untuk beberapa bulan pada intensitas – intensitas cahaya rendah, namun tidak satupun yang bertambah berat kering. Bertamnbahnya berat kering yang sihasilkan hampir langsung sebanding dengan intensitas cahaya yang diterima.
INTENSITAS CAHAYA DAN PERTUMBUHAN
Pertumbuhan, yang ditentukan oleh pertambahan dalam berat kering bergantung kepada jumlah hasil fotosintesa dikurangi bagian yang terpakai dalam proses respirasi. Oleh sebab itu cahaya mempunyai effek yang signifikan tehadap pertumbuhan, karena pengaruh pada fotosintesa. Fotosintesa maksimum terjadi dalam cahaya matahari penuh. Namun, selama tengah hari, intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan meningkatnya temperatur daun yang berakibat buruk. Hal ini dapat menyebabkan menutpnya stomata dan menurunya fotosintesa.
Banyak bahan kering yang dihasilkan biasanya akan meningkat dengan bertambahnya intensitas cahaya sampai tercapai suatu keadaan maksimum dan kemudian menurun. Intensitas yang optimum bagi pertumbuhan berubah – ubah menurut temperatur dari cholopyll dan bergantung kepada intensitas cahaya.
Intensitas cahaya yang sangat tinggi lebih baik bagi pertumbuhan perakaran dari pada untuk pertumbuhan pucuk. Intensitas yang seperti ini menyebabkan transpirasi yang berlebihan pada tumbuhan, yang mengakibatkan batang – batang menjadi pendek, daun – daun yang lebih tebal tetapi lebih kecil, betambah banyaknya jaringan – jaringan pengankut air, dan menurunnya pertumbuhan. Pada intensitas – intensitas cahaya yang amat rendah perkembangan dan pertumbuhan daun –daun terhalang. Produksi bunga dan buah tidak terjadi pada cahaya yang amat lemah, namun berlangsung pada intensitas – intensitas sedang. Defisiensi cahaya dapat menunda waktu berbunga dan berbuah. Intensitas cahaya yang optimum bagi perkembangan bunga dan buah, maupun untuk produksi maksimum dari bahan kering, adalah lebih tinggi dari pada yang deperlukan untuk pertumbuhan vegetatip. Persentase dari bahan ( pucuk- pucuk), ratio dari berat kering akar – akar terhadap berat kering pucuk, kekuatan batang , dan tebal daun semuanya akan meningkat dengan meningkatnya intensitas cahaya.
Bahan lengkap klik disini 
Baca SelengkapnyaBahan kuliah Silvika

Bahan perlindungan hutan (Pengendalian penyakit tanaman kehutanan)

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pembangunan kehutanan yang saat ini dikembangkan lebih mengarah kepada hutan tanaman dengan sistem monokultur. Salah satu dampak negatif dari sistem monokultur adalah kerentanan terhadap hama dan penyakit, hal ini terjadi karena sumber pakan tersedia dengan melimpah dan dalam wilayah yang luas.

Serangan hama dan penyakit jika tidak dikelola dengan tepat maka akan mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem. Selain dari itu, serangan hama dan penyakit berdampak pada prokduktifitas dan kualitas standing stock yang ada. Diantaranya adalah menurunkan rata-rata pertumbuhan, kualitas kayu, menurunkan daya kecambah biji dan pada dampak yang besar akan mempengaruhi pada kenampakan estetika hutan.

Seiring dengan permintaan pasar internasional, pengelola hutan dituntut untuk menghasilkan produk hutan yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. Prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari telah dirumuskan oleh sebuah lembaga internasional Forest Stewardship Council (FSC) yang lebih dikenal dengan Prinsip dan Kriteria (P & C FSC).

Prinsip dan Kriteria Pengelolaan Hutan Lestari standar FSC terdiri dari :

Prinsip 1. Ketaatan pada hukum dan prinsip-prinsip FSC

Prinsip 2. Tenure, hak guna dan tanggung jawab

Prinsip 3. Hak masyarakat adat

Prinsip 4. Hubungan masyarakat dan hak-hak pekerja

Prinsip 5. Manfaat dari hutan

Prinsip 6. Dampak lingkungan

Prinsip 7. Rencana pengelolaan

Prinsip 8. Monitoring dan evaluasi

Prinsip 9. Hutan bernilai konservasi tinggi (HCVF)

Prinsip 10. Hutan tanaman

Dari 10 prinsip tersebut, pengelolaan hama dan penyakit secara detail disyaratkan pada Prinsip 6 kriteria 6 :

”Sistem pengelolaan harus mendukung perkembangan dan adopsi metode non kimia yang ramah lingkungan dalam pengelolaan pestisida dan berusaha untuk mencegah penggunaan pestisida kimia. Pestisida hidrokarbon khlorin Tipe 1A dan 1B menurut WHO; pestisida tetap, beracun atau yang bahan aktif biologisnya tetap ada dan terakumulasi dalam makanan diluar penggunaan normalnya; sama halnya dengan pestisida yang dilarang menurut kesepakatan internasional, harus dilarang penggunaanya. Jika bahan-bahan kimia ini digunakan, peralatan yang layak dan pelatihan harus disediakan untuk meminimalisir risiko kesehatan dan lingkungan”

Prinsip 10 kriteria 7 :

”Langkah-langkah harus diambil guna mencegah dan menekan mewabahnya hama, penyakit, kebakaran dan masuknya tanaman pengganggu. Pengelolalan hama terpadu harus menjadi bagian penting dari rencana pengelolaan, dengan lebih mengandalkan pada pencegahan dan metode-metode kendali biologis daripada pupuk dan pestisida kimia. Pengelolaan penanaman harus melakukan segala cara untuk beralih dari pupuk dan pestisida kimia termasuk pemakaiannya dalam pembibitan. Pemakaian bahan-bahan kimia juga tercakup dalam Kriteria 6.6 dan 6.7.”

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pengelola hutan dituntut harus bisa mengelola hama dan penyakit tanaman dengan pendekatan sistem pengendalian hama dan penyakit secara terpadu yang efektif dan efisien.

2.
Tujuan

Pengelolaan pengendalian hama dan penyakit tanaman ini bertujuan untuk :

1. Melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit

2. Mengurangi kerusakan/kerugian yang ditimbulkan akibat serangan hama dan penyakit

3. Menjaga keseimbangan ekosistem di hutan yang masing-masing unsur lingkungan saling mendukung bagi pertumbuhan tanaman

3.
Kegunaan

Pengelolaan pengendalian hama dan penyakit tanaman ini dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan montoring, identifikasi, pencegahan, dan pemberantasan hama dan penyakit tanaman serta tindakan perbaikan pasca pemberantasan.

4.
Ruang Lingkup

Ruang lingkup pengendalian hama dan penyakit tanaman (HPT) ini meliputi kegiatan-kegiatan :

1. Identifikasi HPT

Identifikasi dilakukan untuk mengenali jenis-jenis HPT yang ada berupa gejala dan atau tanda yang dijumpai di lapangan serta intensitas serangan.

2. Pencegahan HPT

Pencegahan dilakukan dengan tujuan untuk mempersempit serangan dan mengelola lingkungan biofisik tanaman sehingga kemungkinan munculnya HPT dapat diminimalkan.

3. Pengendalian HPT

Pengendalian dilakukan untuk membatasi serangan /melokalisir serangan serta perlakuan lingkungan untuk mengurangi perkembangan HPT yang tidak diinginkan.

4. Pemberantasan HPT

Pemberantasan dilakukan untuk memusnahkan serangan HPT yang ada berikut tanaman yang terkena serangan sehingga tidak menular pada tanaman lain yang sehat.

5. Penanggulangan pasca pengendalian HPT

Pasca pengendalian HPT perlu dilakukan monitor untuk mengetahui efektifitas pengendalian yang dilakukan sehingga munculnya HPT baru dapat diketahui.

HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KEHUTANAN

A. Hama dan Penyakit Tanaman Jati

Hama dan penyakit pada tanaman jati yang teridentifikasi dan terdokumentasi di hutan tanaman jati seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis hama dan penyakit pada tanaman jati

No


Jenis Hama


Nama Umum Hama


Bagian Tanaman Yang diserang


Lokasi

1


Duomitus ceramicus


Oleng-oleng


Batang


Lapangan

2


Neotermes tectonae


Inger-inger


Batang


3


Hyblaea puera


Ulat jati


Daun


Lapangan

4


Pyrausta machaeralis


Ulat jati


Daun


Persemaian, lapangan

5


Phyllophaga sp


Uret


Akar


Persemaian, lapangan

6


Acarina sp.


Tungau merah


Daun


Persemaian

7


Kutu putih/lilin




Daun/pucuk


Persemaian

8


Lalat Putih




Batang


Persemaian

9


Dumping off


Penyakit layu/busuk semai


Leher akar


Persemaian

10


Rayap




Akar


Lapangan

11


Penggerek pucuk jati




Pucuk


Lapangan

12


Pseudococcus


Kutu putih/sisik


Daun dan batang


Lapangan

13


Peloncat Flatid Putih



Kupu putih


Daun dan batang


Lapangan

14


Xyleborus destruens


Kumbang bubuk basah


Batang


Lapangan

15


Pseudomonas tectonae


Penyakit layu bakteri


Batang


Lapangan

16


Loranthus Sp.


Benalu


Batang


Lapangan

1. Hama Ulat Jati (Hyblaea puera & Pyrausta machaeralis)

Hama ini menyerang pada awal musim penghujan, yaitu sekitar bulan Nopember – Januari. Daun-daun yang terserang berlubang-lubang dimakan ulat. Bila ulat tidak banyak cukup diambil dan dimatikan. Bila tingkat serangan sudah tinggi, maka perlu dilakukan pengendalian dengan cara penyemprotan menggunakan insektisida.

2. Hama Uret (Phyllophaga sp)

Hama ini biasanya menyerang pada bulan Pebruari – April. Uret merupakan larva dari kumbang. Larva ini aktif memakan akar tanaman baik tanaman kehutanan (tanaman pokok dan sela) maupun tanaman tumpangsari (padi, palawija, dll) terutama yang masih muda, sehingga tanaman yang terserang tiba-tiba layu, berhenti tumbuh kemudian mati. Jika media dibongkar akar tanaman terputus/rusak dan dapat dijumpai hama uret.

Kerusakan dan kerugian paling besar akibat serangan hama uret terutama terjadi pada tanaman umur 1-2 bulan di lapangan, tanaman menjadi mati. Serangan hama uret di lapangan berfluktuasi dari tahun ke tahun, umumnya bilamana kasus-kasus serangan hama uret tinggi pada suatu tahun, maka pada tahun berikutnya kasus-kasus kerusakan/serangan menurun.

Pengendalian

a. Kasus-kasus serangan hama uret umumnya menonjol pada lokasi-lokasi dengan jenis tanah berpasir (regosol)

b. Pencegahan dan pengendalian hama uret dilakukan dengan penambahan insektisida-nematisida granuler (G) di lubang tanam pada saat penanaman tanaman atau pada waktu pencampuran media di persemaian, khususnya pada lokasi-lokasi endemik/rawan hama uret.

c. Untuk efektivitas dan efisiensi langkah pengendalian, informasi tentang fluktuasi serangan hama uret dari tahun ke tahun perlu dimiliki pengelola lapangan. Ini penting untuk menentukan perlu tidaknya memberikan tindakan pencegahan/ pengendalian pada suatu penanaman pada suatu waktu.

3. Hama Tungau Merah (Akarina)

Hama ini biasanya menyerang pada bulan Juni – Agustus. Gejala yang timbul berupa daun berwarna kuning pucat, pertumbuhan bibit terhambat. Hal ini terjadi diakibatkan oleh cairan dari tanaman/terutama pada daun dihisap oleh tungau. Bila diamati secara teliti, di bawah permukaan daun ada tungau berwarna merah cukup banyak (ukuran ± 0,5 mm) dan terdapat benang-benang halus seperti sarang laba-laba. Pengendalian hama tungau dapat dilakukan dengan menggunakan akarisida.

4. Hama kutu putih/kutu lilin

Hama ini biasa menyerang setiap saat. Bagian tanaman yang diserang adalah pucuk (jaringan meristematis). Pucuk daun yang terserang menjadi keriting sehingga tumbuh abnormal dan terdapat kutu berwarna putih berukuran kecil. Langkah awal pengendalian berupa pemisahan bibit yang sakit dengan yang sehat karena bisa menular. Bila batang sudah mengkayu, batang dapat dipotong 0,5 – 1 cm di atas permukaan media; pucuk yang sakit dibuang/dimusnahkan. Jika serangan sudah parah dan dalam skala yang luas maka dapat dilakukan penyemprotan dengan menggunakan akarisida.

5. Hama Lalat Putih

Hama lalat putih merupakan serangga kecil bertubuh lunak. Lalat putih ini bukan lalat sejati, tetapi masuk dalam Ordo Homoptera. Hama ini berkembang sangat cepat secara eksponensial. Lalat putih betina dapat menghasilkan 150 – 300 telur sepanjang hidupnya. Waktu yang dibutuhkan dari tingkat telur sampai dengan dewasa siap bertelur hanya sekitar 16 hari. Lalat putih dapat menyebabkan luka yang serius pada tanaman dengan mencucuk mengisap cairan tanaman sehingga menyebabkan layu, kerdil, atau bahkan mati. Lalat putih dewasa dapat juga mentransmisikan beberapa virus dari tanaman sakit ke tanaman sehat.

Lalat putih sering sangat sulit dikendalikan. Lokasi hama yang berada di permukaan bawah daun membuatnya sulit bagi insektisida untuk mencapai posisi hama. Hama lalat putih juga dengan cepat dapat mengembangkan resistensi ke insektisida yang digunakan untuk melawan mereka. Suatu jenis insektisida yang efektif untuk lalat putih pada suatu kasus kerusakan pada suatu waktu, dapat tidak efektif untuk aplikasi di lokasi dan waktu yang berbeda.

Tahap telur dan pupa lebih tahan terhadap insektisida dibandingkan tahapan dewasa dan nimfa. Konsekuensinya eradikasi (pengendalian) populasi lalat putih biasanya memerlukan 4 – 5 kali penyemprotan dengan interval penyemprotan 5 – 7 hari. Pengendalian biologi dapat diterapkan untuk melawan lalat putih. Lalat putih memiliki musuh alami sejumlah predator dan parasitoid. Kerusakan parah pada bibit di persemaian (JPP) terutama terjadi pada semai ukuran < 10 cm, terparah terjadi pada semai < 5 cm. Rekomendasi dan Pengendalian · Perlu dilakukan wiwil daun dan penjarangan bibit dalam bedengan, untuk meningkatkan kesehatan bibit dan memudahkan penyemprotan insektisida · Untuk penyemprotan dapat dilakukan dengan campuran insektisida - larutan deterjen atau larutan insektisida. · Penyemprotan dilakukan sedini mungkin ketika hama lalat putih mulai terlihat di persemaian, jangan menunggu jumlah populasi meledak sehingga menyulitkan pengendalian. · Penyemprotan diarahkan ke permukaan daun bagian bawah, karena serangga mengisap cairan dan tinggal di permukaan daun bagian bawah. · Selain pengendalian dengan kimiawi (insektisida), disarankan penggunaan mekanis, menggunakan alat penjebak lalat putih (colour trapping). Alat yang digunakan adalah kotak karton/papan kayu. · Pemupukan menggunakan pupuk NPK cair, untuk meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan semai. · Penggunaan alat penjebak lalat putih (colour trapping) sebagai cara pengendalian mekanis, menggunakan kotak atau papan bercat/berwarna kuning terang, kemudian diolesi dengan bahan perekat/getah (lem tikus, getah kayu/nangka, stirofoam yang direndam dalam bensin/minyak tanah, oli). Kotak/papan dipasang di atas bedengan. 6. Penyakit Layu – Busuk Semai Serangan penyakit pada persemaian terjadi pada kondisi lingkungan yang lembab, biasanya pada musim hujan. Berdasarkan karakteristik serangannya, penyakit yang muncul pada persemaian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : * serangan penyakit dipicu oleh kondisi lingkungan yang lembab. Gejala yang timbul biasanya bibit busuk. Penanganan secara mekanis dapat dilakukan dengan penjarangan bibit, wiwil daun, serta pemindahan bibit ke open area, dengan tujuan untuk mengurangi kelembaban. * serangan penyakit dipicu oleh hujan malam hari/dini hari pada awal musim hujan (penyakit embun upas). Gejala yang timbul berupa daun layu seperti terkena air panas. Serangan penyakit ini umumnya muncul pada saat pergantian musim dari musim kemarau ke musim penghujan, saat hujan pertama turun yang terjadi pada malam hari atau dini hari pada awal musim hujan. Serangan penyakit terutama pada bibit yang masih muda, jumlah bibit yang terserang relatif banyak, cepat menular melalui sentuhan atau kontak daun, dan bersifat mematikan. 7. Hama rayap Serangan dapat terjadi pada tanaman jati muda pada musim hujan yang tidak teratur dan puncak kemarau panjang. Pada kasus serangan di puncak kemarau disebabkan rendahnya kelembaban di dalam koloni rayap sehingga rayap menyerang tanaman jati muda. Prinsip pengendaliannya dengan mencegah kontak rayap dengan batang/perakaran tanaman Cara-cara pengendalian rayap yang dapat dilakukan : 1) Preventif - secara tradisional dilakukan dengan menaburkan abu kayu di pangkal batang pada waktu penanaman - pemberian insektisida granuler (G), pada lubang tanam ketika penanaman, khususnya pada lokasi yang diketahui endemik/rawan rayap - mengurangi kerusakan mekanis pada perakaran dalam sistem tumpang sari - menghilangkan sarang-sarang pada lokasi 2) Pengendalian : - mengoleskan kapur serangga di pangkal batang - pemberian insektisida granuler di pangkal batang - penaburan abu kayu di sekeliling pangkal batang - menghilangkan sarang-sarang pada lokasi 8. Hama penggerek batang/oleng-oleng (Duomitus ceramicus) Siklus Hidup Duomitus ceramicus merupakan sejenis ngengat, telurnya menetas antara bulan Maret – April, aktif pada malam hari. Setelah kawin ngengat betina bertelur pada malam hari dan diletakkan pada celah kulit batang. Telur berwarna putih kekuningan atau kuning gelap, bentuk silinder, panjang 0,75 cm. Telur diletakkan berkelompok pada bekas patahan cabang atau luka-luka di kulit batang. Stadia telur ± 3 minggu. Larva menetas pada bulan Mei, hidup dalam kulit pohon, selanjutnya menggerek kulit batang menuju kambium dan kayu muda, memakan jaringan kayu muda. Larva pada tingkat yang lebih tua membuat liang gerek yang panjang, terutama bila pohon jati kurang subur. Pada tempat gerekan terjadi pembentukan kallus (gembol). Larva menggerek batang dengan diameter 1 – 1,5 cm, panjang 20 – 30 cm dan bersudut 90 °. Kotoran larva dari gerekan kayu dikeluarkan dari liang gerek. Fase larva sangat lama antara April – September. Selanjutnya larva masuk ke stadium pupa, tidak aktif, posisinya mendekati bagian luar liang gerek. Fase pupa berlangsung antara September – Pebruari. Seluruh siklus hidupnya, dari stadia telur sampai menjadi ngengat memerlukan waktu ± 1 tahun. Pengendalian · Oleng-oleng termasuk serangga hama low density insect pest (serangga hama yang kepadatannya rendah). Dalam 1 batang tanaman jati umumnya terdapat 1 ekor serangga larva, jarang 2 atau lebih. Meskipun hanya 1 ekor sudah dapat merusak satu batang jati. · Kerusakan parah terutama pada serangan tanaman jati muda, umur 1 – 3 tahun. Tanaman jati muda mudah patah akibat lubang serangan pada batang jati muda. · Berkembangnya hama oleng-oleng difasilitasi oleh tingginya kelembaban dan suhu lingkungan di lantai dasar hutan. · Umumnya serangan oleng-oleng pada batang jati pada ketinggian 1 – 2 m dari tanah, dengan jumlah titik serangan 1 - 2. Namun demikian pada lokasi serangan endemik yang parah, titik serangan dapat mencapai 5 titik dengan ketinggian titik serangan mencapai 4 meter. · Teknik pengendalian hama dengan sifat seperti oleng-oleng diusahakan supaya insektisida yang dipakai harus dapat mengenai sasarannya. Oleh karena itu teknik pemakaian insektisida fumigan dapat dipakai karena dengan cepat mengenai sasarannya. - insektisida fumigan, dosis : 1/8 butir dimasukkan ke dalam liang gerek serangga hama, kemudian lubang ditutup dengan lilin malam. Aplikasi insektisida ini praktis, bilamana titik serangan berada di bawah ketinggian 2 meter. - Untuk meminimalkan tingkat serangan, terutama di daerah endemik oleng-oleng, pengendalian perlu terintegrasi dengan praktek silvikultur dan pengendalian mekanis. - Aplikasi praktek silvikultur pada daerah endemik dilakukan dengan mengatur jenis-jenis tanaman tumpang sari. Jenis yang dipilih sebaiknya adalah jenis tanaman tumpang sari yang cukup pendek sehingga ruang tumbuh di bawah tajuk jati tidak terlalu lembab. Kondisi di bawah tajuk jati muda yang lembab dan rapat menyediakan habitat yang cocok bagi hama hutan. Dari berbagai pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa jumlah serangan hama oleng-oleng pada tumpang sari jagung lebih tinggi dibandingkan palawija yang lain. - Pengendalian mekanis dilakukan guna menurunkan populasi serangga dewasa (ngengat). Pelaksanaannya dengan penggunaan perangkap lampu (light trap) di malam hari. Untuk penggunaan light trap, peralatan yang diperlukan berupa : kain putih 2 x 1,5 m, lampu bohlam/neon, dan nampan penampung air. Ngengat yang diperoleh kemudian dimusnahkan. 9. Hama penggerek pucuk jati Serangan ulat penggerek pucuk jati (shoot borer) menyerang tanaman jati muda. Gejala awal berupa pucuk apikal jati muda tiba-tiba menjadi layu, kemudian menjadi kering. Panjang pucuk yang mati antara 30 – 50 cm. Pengamatan pada tanaman yang mati diketahui bahwa terdapat lubang gerekan kecil (± 2 mm) di bawah bagian yang layu/kering. Ulat penggerek pucuk berwarna kemerahan dengan kepala berwarna hitam; dibelakang kepala terdapat cincin kuning keemasan. Akibat putusnya titik tumbuh apikal maka akan menurunkan kualitas batang utama. Ujung batang utama yang mati akan keluar tunas-tunas air/cabang-cabang baru. Pengendalian : Kegiatan yang perlu dilakukan dalam rangka pengendalian hama penggerek pucuk jati ada 2, yaitu · Monitoring rutin : dilakukan antara lain untuk mengamati penyebaran hama dari waktu ke waktu, evaluasi efektivitas hasil perlakuan, . · Tindakan pengobatan tanaman yang terserang. Pengobatan dilakukan pada saat pucuk apikal yang sedang aktif tumbuh tiba-tiba menjadi layu. Pengobatan yang pernah dilakukan adalah dengan injeksi insektisida sistemik ke batang : a. Langkah pertama, membuat lubang pada batang dengan paku kemudian cairan insektisida dimasukkan ke lubang. b. Dari evaluasi yang pernah dilakukan, gejala lanjut berupa pucuk menjadi mengering dapat dicegah; pucuk apikal dapat dipertahankan tetap hidup/hijau namun mengalami stagnasi pertumbuhan. c. Hasil pengecekan pada tanaman yang diobati dan yang tidak diobati, diketahui bahwa ulat penggerek pucuk dijumpai pada kedua jenis tanaman. Pada tanaman yang diobati (pucuk tetap hidup namun mengalami stagnasi), ulat tetap dijumpai namun tidak berkembang : ukuran ulat tetap kecil. Sedangkan pada tanaman yang tidak diobati : pucuk apikal menjadi kering dan ulat tumbuh normal (berukuran besar). Hal ini menunjukkan bahwa insektisida meracuni ulat (menyebabkan ulat kerdil tidak berkembang) namun tidak dapat mematikan ulat. d. Mengingat titik tumbuh apikal stagnan, maka akan muncul tunas-tunas baru di bawah titik gerekan ulat. Cabang-cabang yang tumbuh selanjutnya perlu diwiwil agar titik tumbuh apikal dapat segera aktif tumbuh lagi, di samping cabang-cabang yang baru ini dapat mengambil alih fungsi titik tumbuh apikal sehingga mengurangi kualitas batang. e. Bilamana pucuk yang terserang sudah terlanjur kering, pucuk yang kering perlu segera dipotong, dan ulat di dalamnya dibuang. Pemotongan hendaknya dilakukan sebelum muncul tunas air pengganti fungsi batang utama, karena bilamana pucuk kering tidak dipotong maka arah tunas air cenderung ke samping sehingga membuat bentuk batang menjadi bengkok. f. Pemberian insektisida yang awalnya berhasil, kemudian dapat menjadi gagal. Pucuk yang awalnya hijau berubah kering. Faktor-faktor yang diperkirakan menyebabkan titik apikal menjadi kering antara lain : rendahnya dosis insektisida, dan lama musim kemarau tahun berjalan. g. Untuk meminimalkan kegagalan perlakuan di atas, maka hal-hal yang dapat diupayakan antara lain : v Meningkatkan dosis insektisida. Pada aplikasi insektisida sebelumnya (dengan membuat lubang dengan paku di batang), dimungkinkan dosis yang digunakan terlalu rendah ataupun cairan insektisida yang dapat dimasukkan ke lubang paku terlalu sedikit sehingga insektisida hanya dapat meracuni (menghambat pertumbuhan ulat penggerek pucuk), tidak sampai mematikan serangga hama. v Aplikasi insektisida dengan cara bacok oles. Di samping metode lubang bor dengan paku, metode lain guna mengendalikan ulat penggerek pucuk jati adalah metode bacok oles. ü Aplikasinya dengan cara melukai kulit batang sampai dengan bagian luar kayu gubal (jaringan sebelah dalam jaringan kambium). ü Kemudian insektisida dioleskan dengan kuas atau disemprotkan ke bekas bacokan. Selanjutnya insektisida akan diangkut melalui jaringan gubal ke bagian batang atas. ü Cara ini lebih mudah dan cepat; namun demikian mengingat serangan hama penggerek pucuk jati terjadi pada tanaman muda, maka upaya pelukaan perlu dilakukan dengan hati-hati (tidak terlalu dalam agar pohon tidak patah). Upaya pelukaan sebaiknya dilakukan di pangkal batang (ukuran diameter lebih besar sehingga lebih aman). ü Insektisida dapat digunakan dengan dosis 10 cc/pohon. v Segera mengurangi/menghilangkan tunas-tunas air yang muncul di bawah pucuk apikal yang mengalami stagnasi, agar pucuk yang stagnasi dapat aktif tumbuh lagi. Bila tidak segera dihilangkan maka tunas air yang muncul akan menggantikan fungsi batang utama, sehingga batang di bagian atas membengkok. 10. Hama Kutu Putih (Pseudococcus/mealybug) Kutu putih/kutu sisik (famili Coccidae, ordo Homoptera) yang pernah dilaporkan menyerang tanaman jati antara lain : Pseudococcus hispidus dan Pseudococcus (crotonis) tayabanus. Kutu ini mengisap cairan tanaman tumbuhan inang. Waktu serangan terjadi pada musim kering (kemarau). Seluruh tubuhnya dilindungi oleh lilin/tawas dan dikelilingi dengan karangan benang-benang tawas berwarna putih; pada bagian belakang didapati benang-benang tawas yang lebih panjang. Telur-telurnya diletakkan menumpuk yang tertutup oleh tawas. Kerusakan pada tanaman jati muda dapat terjadi bilamana populasi kutu tinggi. Kerusakan yang terjadi antara lain : daun mengeriting, pucuk apikal tumbuh tidak normal (bengkok dan jarak antar ruas daun memendek). Gangguan kutu ini akan menghilang pada musim penghujan. Namun demikian kerusakan tanaman muda berupa bentuk-bentuk cacat tetap ada. Hal tersebut tentunya sangat merugikan regenerasi tanaman yang berkualitas. Kutu-kutu ini memiliki hubungan simbiosis dengan semut (Formicidae), yaitu semut gramang (Plagiolepis [Anaplolepis] longipes) dan semut hitam (Dolichoderus bituberculatus) yang memindahkan kutu dari satu tanaman ke tanaman lain. Pengendalian Pengendalian dilakukan bila populasi kutu per tanaman muda cukup besar. Pengendalian dilakukan dengan penyemprotan pada tanaman-tanaman yang terserang. Langkah-langkah pengendalian hama kutu putih antara lain sebagai berikut : a. Penyemprotan dengan insektisida nabati (pemilihan jenis insektisida kimia sesuai Lampiran 2). b. Untuk memulihkan bentuk-bentuk yang cacat maka dapat dilakukan pemotongan sampai pada batas atas kuncup ketiak, yang kelak akan menjadi tunas akhir yang lurus dan baik. Kegiatan pemotongan bagian-bagian yang cacat ini hendaknya dilakukan pada awal musim penghujan. 11. Hama Kupu Putih (Peloncat Flatid Putih) Kasus serangan hama kupu putih dalam skala luas pernah terjadi pada tanaman jati muda di KPH Banyuwangi Selatan pada musim kemarau tahun 2006. Serangga ini hinggap menempel di batang muda dan permukaan daun bagian bawah. Jumlah individu serangga tiap pohon dapat mencapai puluhan sampai ratusan individu. Hasil identifikasi serangga, diketahui bahwa serangga yang menyerang tanaman jati muda ini adalah dari kelompok peloncat tumbuhan (planthopper) flatid warna putih (famili Flatidae, ordo Homoptera/Hemiptera). Dari kenampakan serangga maka kupu putih yang menyerang jati ini sangat mirip dengan spesies flatid putih Anormenis chloris. Jenis-jenis serangga flatid jarang dilaporkan menyebabkan kerusakan ekonomis pada tanaman budidaya. Nilai kehadiran serangga kupu putih (flatid putih) ini menjadi penting karena waktu serangan terjadi pada musim kemarau yang panjang. Tanaman jati yang telah mengurangi tekanan lingkungan dengan menggugurkan daun semakin meningkat tekanannya akibat cairan tubuhnya dihisap oleh serangga flatid putih. Dengan demikian serangan serangga flatid putih ini dapat meningkatkan resiko mati pucuk jati muda selama musim kemarau. Pengendalian : Serangga jenis-jenis peloncat flatid jarang dilaporkan menyebabkan kerugian ekonomis pada tanaman budidaya. Namun demikian bilamana populasi serangga tiap individu pohon sudah tinggi dan dalam skala luas serta dalam musim kemarau yang panjang maka kehadiran serangga flatid putih ini dapat memperbesar tekanan terhadap tanaman jati muda berupa peningkatan resiko mati pucuk di lapangan. Pengendalian hama seperti peloncat flatid putih di atas dapat dilakukan dengan aplikasi insektisida sistemik melalui batang (bor atau bacok oles), dan penyemprotan bagian bawah daun, ranting-ranting, dan batang muda jati dengan insektisida racun lambung. Pemilihan jenis pestisida mengacu pada Lampiran 2. 12. Hama Kumbang Bubuk Basah (Xyleborus destruens Bldf.) Xyleborus destruens atau kumbang bubuk basah atau kumbang ambrosia menyebabkan kerusakan pada batang jati. Serangan kumbang ini pada daerah-daerah dengan kelembaban tinggi. Pada daerah-daerah dengan curah hujan lebih dari 2000 mm per tahun serangan hama ini dapat ditemukan sepanjang tahun. Gejala serangan yang mudah dilihat yaitu kulit batang berwarna coklat kehitaman, disebabkan adanya lendir yang bercampur kotoran X. destruens. Bila lendir dan campuran kotoran sudah mengering warnanya menjadi kehitam-hitaman. Serangan hama ini tidak mematikan pohon atau mengganggu pertumbuhan tetapi akibat saluran-saluran kecil melingkar-melingkar di dalam batang jati maka menurunkan kualitas kayu. Pencegahan dan Pengendalian : * Tidak menanam jati di daerah yang mempunyai curah hujan lebih dari 2000 mm per tahun. * Menebang dan memusnahkan pohon-pohon yang diserang terutama pada waktu penjarangan. * Mengurangi kelembaban mikro tegakan, misalnya dengan mengurangi tumbuhan bawah. * Melakukan penjarangan dengan baik. 13. Penyakit Layu Bakteri Penyakit ini dapat menyerang tanaman jati di persemaian dan juga jati muda di lapangan. Di lapangan diketahui pertama kali menyerang tanaman jati pada tahun 1962 di Pati. Di persemaian, diketahui bahwa persemaian Kucur di Ngawi (1996, 1998) dan persemaian Pongpoklandak, Cianjur (1999) pernah terserang. Kasus kerusakan jati muda akibat penyakit layu bakteri di lapangan akhir-akhir ini mulai banyak yang muncul, seperti di Haur Geulis, Indramayu (2005), Jember (2006), Pati Utara (2006 – 2008). Bahkan kasus serangan penyakit layu bakteri di Pati Utara sudah sangat luas, menyerang tanaman jati muda s.d. umur 5 tahun, dengan demikian memerlukan penanganan yang serius. Gejala Serangan Penyakit Layu Bakteri : · Tanaman yang dapat terserang penyakit layu bakteri ini umumnya tanaman di bawah umur 1 tahun. Namun demikian pada kondisi iklim dan tanah yang mendukung, maka tanaman jati sampai dengan umur 5 tahun dapat terserang dan mengalami kematian. · Daun menjadi layu, menggulung, kemudian mengering dan rontok. Batang kemudian layu dan mengering. Bilamana akar diperiksa, kondisi akar sudah rusak. · daun layu (gejala awal), kondisi kulit batang tampak masih terlihat segar/sehat. Namun bilamana diperiksa lebih lanjut dengan memotong dan menyeset kulit/membelah batang yang terserang maka akan dapat dilihat bahwa bagian jaringan kambium dan kayu gubal (xylem) telah mengalami kerusakan, walaupun jaringan kulit (floem) masih terlihat hijau segar. Pada kambium atau permukaan luar kayu gubal dapat dilihat garis-garis hitam membujur sepanjang batang. · Untuk mengetahui penyebab penyakit layu pada tanaman jati muda ini (penyebab penyakit jamur ataukah bakteri), dapat dilakukan uji cepat di lapangan. Caranya adalah dengan memotong batang atau cabang tanaman yang mengalami gejala layu dan memiliki garis-garis hitam membujur sepanjang xylem di atas. Batang muda atau cabang yang telah berkayu dipotong dengan panjang 20 – 30 cm, kemudian potongan di bagian ujung batang/cabang dimasukkan ke dalam gelas yang berisi separuh gelas air jernih. Bilamana penyebab penyakit layu disebabkan bakteri, maka akan keluar cairan putih susu kental keluar dari potongan batang yang di dalam air. Cairan putih ini adalah koloni bakteri patogen. · Bilamana gejala kerusakan terjadi pada tanaman di atas 1 tahun, untuk mengecek keberadaan bakteri dapat dilakukan dengan memotong cabang/batang tanaman yang telah terserang. Potongan cabang/batang dibiarkan beberapa menit, maka akan terlihat cairan putih kental keluar dari bagian xylem atau dari kambium (jaringan antara xylem dan floem). Cairan putih kental ini merupakan tanda adanya infeksi bakteri pada tanaman. · Bakteri penyebab penyakit layu pada tanaman jati muda ini adalah bakteri Pseudomonas tectonae. Bakteri ini berkembang pada lahan jati terutama pada kondisi solum yang sangat lembab, yaitu pada musim hujan dengan curah hujan tinggi dan dengan kondisi drainase buruk. · Waktu antara gejala awal penyakit sampai dengan tanaman jati muda yang terserang menjadi mati tergantung pada umur tanaman yang terserang. Tanaman < 1 tahun : proses kematian berkisar 1 – 2 minggu; sedangkan pada serangan pada tanaman > 1 tahun : proses kematian mencapai beberapa bulan.

Pengendalian penyakit layu bakteri pada jati :

Untuk pengendalian penyakit layu bakteri dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu cara biologi, cara kimiawi, dan cara silvikultur. Untuk serangan pada masa persemaian, cocok dilakukan pengendalian dengan cara biologi dan kimiawi. Adapun untuk kasus serangan pada tanaman yang sudah ada di lapangan, maka cara silvikultur lebih efektif dan aman.

v Cara biologi, dilakukan dengan menggunakan bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens dengan konsentrasi 108 cfu/ml dengan dosis 15 – 25 ml/pot semai, disemprotkan ke seluruh permukaan tanaman dan sekitar perakaran. Hasil uji coba Pseudomonas fluorescens efektif menekan bakteri patogen P. Tectonae, dengan meningkatnya persen tumbuh bibit dari 70% menjadi 100%.

v Cara kimiawi, menggunakan bakterisida, disemprotkan ke seluruh permukaan tanaman dan sekitar perakaran.

v Cara silvikultur, dilakukan dengan menyediakan lingkungan tempat tumbuh tanaman hutan sehingga dapat diperoleh tanaman sehat dengan produktivitas tinggi. Aplikasi silvikultur untuk penanganan penyakit layu bakteri adalah dengan memperbaiki drainase lahan dan pengaturan jenis tumpang sari pada tanaman pokok jati. Kedua langkah tersebut perlu dilakukan agar dapat diperoleh zona perakaran jati yang sarang, tidak jenuh air, sebuah persyaratan yang dibutuhkan bagi budidaya jati yang sehat. Perbaikan drainase lahan dilakukan dengan pembuatan parit-parit drainase khususnya di daerah-daerah dengan topografi datar. Jenis tumpangsari jati – padi cenderung menciptakan lingkungan tempat tumbuh yang buruk bagi tanaman pokok jati.

14. Hama Inger-Inger (Neotermes tectonae)

Neotermes tectonae merupakan suatu golongan rayap tingkat rendah. Koloni inger-inger tidak begitu banyak, hanya beberapa ratus sampai beberapa ribu individu.

Gejala kerusakan dapat dijumpai berupa pembengkakan pada batang, kebanyakan pada ketinggian antara 5 – 10 m, namun juga ada pada 2 m atau sampai 20 m. Jumlah pembengkakan dalam satu batang bervariasi, mulai satu sampai enam titik lokasi pembengkakan.

Waktu mulai hama menyerang sampai terlihat gejala memerlukan waktu 3-4 tahun, bahkan sampai 7 tahun.

Kasus serangan hama inger-inger di lapangan umumnya dijumpai terutama pada lokasi-lokasi tegakan yang memiliki kelembaban iklim mikro yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kerapatan tegakan yang terlalu tinggi. Penyebabnya adalah tidak dilakukannya ataupun terlambatnya kegiatan penjarangan, padahal kegiatan penjarangan merupakan bagian dari upaya silvikultur untuk menjaga kesehatan tegakan.

Akibat serangan inger-inger ini adalah pada bagian yang diserang kayunya sudah tidak bernilai sebagai kayu pertukangan dan harus dikeluarkan dari hitungan perolehan massa kayu bahan pertukangan.

Pencegahan dan Pengendalian

Ø Metode penjarangan yang telah ditetapkan dan berlaku bagi hutan-hutan jati di Indonesia apabila dilakukan dengan teratur dapat mencegah meluasnya serangan inger-inger. Kegiatan penjarangan sebaiknya dilakukan sebelum hujan pertama atau kira-kira bulan oktober guna mencegah penyebaran sulung (kelompok hama inger-inger yang mengadakan perkawinan).

Ø Penjarangan agak keras dianjurkan bagi daerah-daerah yang menderita serangan lebih dari 30% tegakan. Bagi daerah-daerah yang serangannya lebih dari 50% periodisitas penjarangan perlu ditingkatkan, yaitu untuk KU II tiap 3 tahun, KU III dan KU IV tiap 5 tahun.

Ø Dalam kegiatan penjarangan perlu diusahakan agar pohon-pohon yang ditebang tidak menimpa pohon-pohon yang ditinggalkan karena hal tersebut akan mengakibatkan cacat-cacat yang berupa patah-patah cabang, luka-luka batang dan sebagainya yang akan menjadi pintu masuk bagi inger-inger.

Ø Cara pengendalian di alam selama ini kurang efektif. Hampir semua binatang pemakan serangga dapat menjadi musuh/pemangsa bagi hama inger-inger. Burung pelatuk, kelelawar, tokek, lipan, kepik buas, cicak, katak pohon merupakan musuh alami yang cukup penting dalam mencegah penyebaran hama inger-inger pada pohon jati yang sehat. Karena itu keberadaan predator-predator tersebut harus dijaga keberadaannya di hutan jati.

Ø Untuk pengendalian secara kimia, dalam pelaksanaannya ditujukan untuk hama inger-inger di dalam batang, dan sulung hama inger-inger yang berada di luar batang.

B. Hama dan Penyakit Tanaman Pinus

Hama yang menyerang tanaman pinus yang saat ini sedang banyak terjadi adalah kutu lilin. Sementara pada lokasi persemaian biasanya bibit/semai terserang penyakit lodoh semai (dumping off) yang diakibatkan oleh jamur/fungi dan bercak daun pestalotia.

1. Penyakit lodoh semai (damping off)

Penyakit lodoh semai (damping off) merupakan penyakit yang menyerang bibit di persemaian pada periode sukulen pinus. Periode sukulen adalah periode semai ketika jaringan batang masih lunak dan belum terbentuk jaringan kayu. Periode ini dimulai sejak benih berkecambah sampai sekitar semai umur satu bulan pasca sapih.

Gejala yang muncul berupa busuk pangkal batang; pangkal batang/leher akar semai muda menjadi lunak kemudian semai roboh. sehingga semai menjadi rebah. Penyebab penyakit ini antara lain jamur Fusarium, Pythium, Rhizoctonia, dan Sclerotium.

Tingkat kematian semai akibat penyakit ini cukup tinggi, namun hampir tidak pernah didata. Data kematian semai umur sebulan pasca overspin/sapih akibat penyakit damping off ini dapat mencapai 30%.

Upaya regular untuk menekan kematian akibat penyakit ini dilakukan dengan sterilisasi media dan benih dengan penjemuran media dan pemberian fungisida.

2. Penyakit Bercak Daun Pestalotia

Penyakit bercak daun Pestalotia muncul sebagai problem persemaian pinus setelah periode sukulen semai berakhir. Awal kerusakan semai di persemaian umumnya dimulai setelah semai berumur 3 atau 4 bulan pasca sapih.

Gejala kerusakan diawali dengan timbulnya bercak-bercak kuning pada daun jarum semai, yang kemudian meluas sehingga daun-daun jarum tampak menguning (klorosis). Gejala lebih lanjut berupa mengeringnya (nekrosis) daun-daun diawali dari pucuk daun jarum ke arah pangkal, dari bagian daun bagian bawah kemudian menyebar ke arah pucuk semai. Semai yang terserang parah biasanya seluruh daun sudah mengering, hanya tersisa bagian hijau di pucuk semai. Serangan penyakit bercak daun ini sering berakhir dengan kematian ribuan semai pinus di persemaian. Untuk kasus-kasus serangan penyakit bercak daun pada semai yang lebih muda, terkadang gejala kematian diawali dari pucuk semai, sehingga semai menjadi mati pucuk.

Penyebaran penyakit antar semai dibantu oleh angin dan kelembaban udara sehingga model penyebaran kerusakan semai akan tampak berupa titik-titik (spot) yang mengelompok dan semakin meluas dengan cepat menular ke semai-semai di sekitarnya.

Penyebab Penyakit

Jamur Pestalotia sp. telah diidentifikasi sebagai jamur penyebab penyakit bercak daun. Ciri-ciri Pestalotia sp. adalah, bila menyerang tanaman akan menimbulkan bercak-bercak pada daun dengan area nekrosa yang tampak kering pada bagian tengahnya, berbintik-bintik kecil (cairan) yang berwarna hitam yang disebut acervuli jamur. Pada bagian pinggir serangan tampak berwarna coklat atau merah.

Kerusakan semai pinus di persemaian yang cukup tinggi akibat penyakit bercak daun Pestalotia sp. lebih dipicu oleh kondisi semai yang lemah akibat kondisi lingkungan yang buruk (penurunan vigoritas semai akibat kekahatan unsur hara). Hal ini karena pada dasarnya jamur Pestalotia sp. dalam kondisi normal sebenarnya merupakan parasit lemah yang mengadakan infeksi melalui luka-luka (patogen sekunder) dan umum dijumpai berasosiasi dengan daun berbagai jenis tanaman.

Pencegahan dan Pengendalian

Untuk pencegahan dan pengendalian penyakit bercak daun pinus di persemaian, perlakuan-perlakuan yang dilakukan memiliki dua fungsi, yaitu :

a) perlakuan yang berfungsi meningkatkan tingkat kesehatan (vigoritas) semai, antara lain melalui pemupukan (organik dan an organik), pemberian mikoriza, pemberian pelet Trichoderma atau Gliocladium. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah :

- Pupuk yang digunakan sebaiknya jenis pupuk lambat tersedia (slow release fertilizer), misal Dekastar.

- Waktu pemupukan sebaiknya setelah semai berumur 2-3 bulan sejak sapih. Hal ini dengan pertimbangan jaringan batang sudah mengeras (tidak sukulen lagi). Pemupukan pada semai sukulen sering meningkatkan kematian bibit.

- Pupuk lambat tersedia di tabur dan dimasukkan dekat polibag (1-1,5 cm dari pangkal batang) sebanyak 10 butir.

- Pelet Trichoderma atau Gliocladium dicampur dengan media pada saat pembuatan media semai. Dosis aplikasinya : 5 pelet Trichoderma untuk setiap polibag. Sedangkan bila Gliocladium yang dipakai, maka dosisnya ½ sendok teh per polibag.

- Adapun dosis tablet mikoriza per polibag adalah sebanyak 1 butir.

- Pupuk organik cair juga dapat diberikan pada bibit. Pupuk cair berasal dari rendaman kotoran kambing yang sudah matang. Pupuk cair diencerkan dan disemprotkan ke bibit di persemaian.

b) perlakuan yang bersifat mematikan jamur patogen (melalui penyemprotan fungisida).

Dalam pelaksanaan tindakan pengendalian penyakit di persemaian, kedua fungsi di atas tidak dapat dipisah-pisahkan.

Perlakuan penting pertama sebagai langkah preventif diterapkan pada bibit di persemaian sejak awal sebelum bibit terserang. Dengan pertumbuhan dan vigoritas yang optimal maka ketahanan semai terhadap resiko terberat penyakit bercak daun berupa kematian bibit, dapat dipertahankan sampai dengan semai siap tanam.

Tindakan pencegahan dalam kasus serangan penyakit bercak daun pinus harus menjadi pilihan utama. Hal ini mengingat seringkali tindakan pengobatan penyakit bercak daun pinus berakhir dengan kematian ribuan bibit (bibit gagal diselamatkan), terutama bilamana gejala kerusakan terlambat ditangani.

Dalam pelaksanaan pengobatan/recovery semai, di samping tindakan mematikan jamur patogen, semai harus segera disuplai nutrisi tambahan agar semai dapat pulih dan tumbuh sehat.

Berikut ini langkah-langkah pengendalian bilamana terjadi serangan penyakit bercak daun Pestalotia :

- Seleksi dan Sortasi Bibit : bibit-bibit dikelompokkan berdasarkan tingkat keparahan serangan.

- Tindakan wiwil daun dan pucuk semai yang terserang : daun-daun atau pucuk semai yang kering akibat serangan penyakit bercak daun harus digunting/dipotong. Daun-daun kering atau pucuk semai yang mati kering dapat menularkan penyakit ke daun-daun/semai pinus yang masih sehat. Gejala serangan bercak daun di pucuk semai biasanya terjadi pada semai umur awal (± umur 3 bulan), bila serangan terjadi

- Daun-daun kering bekas terserang di atas, harus dimusnahkan/dibakar agar tidak menularkan jamur Pestalotia ke semai-semai lainnya.

- Pemberian suplemen tambahan guna meningkatkan kesehatan semai (antara lain pupuk kimia/organik cair, pelet Trichoderma - T. reesei atau Gliocladium)

- Penyemprotan dengan menggunakan fungisida. Untuk pencegahan penyemprotan 10 hari sekali selama 3 bulan, untuk pengobatan penyemprotan 5 hari sekali selama 3 bulan.

3. Hama Kutu Lilin Pinus

Hama kutu lilin menyerang tanaman Pinus merkusii semua tingkatan umur, mulai umur 1 tahun sampai dengan tegakan akhir daur. Kutu ini mengisap cairan pohon, terutama di pucuk-pucuk ranting tajuk pinus.

Tanda-tanda adanya serangan kutu lilin dapat dilihat berupa adanya bintik-bintik putih atau lapisan putih menempel pada ketiak daun di pucuk-pucuk ranting pinus. Lapisan putih ini merupakan benang-benang lilin yang dikeluarkan kutu, merupakan tempat berlindung kutu. Pucuk yang terserang daunnya menguning, kemudian daun dan pucuk menjadi rontok dan kering.

Untuk serangan pada tegakan (pohon besar), indikasi serangan dapat diamati secara okuler dengan perubahan warna dan kelebatan tajuk pohon. Tajuk pohon yang sehat berwarna hijau dan segar, sedangkan tajuk pohon pinus yang sakit (terserang) berwarna hijau kusam, kekuningan. Tajuk pohon yang terserang juga berubah menjadi tipis akibat daun-daun yang rontok.

Identifikasi Kutu Lilin

Dari identifikasi yang dilakukan oleh pakar (Dr. Gillian W. Watson, ahli insect biosystematist, USA) diketahui bahwa spesies kutu lilin adalah Pineus boerneri. Adapun taksonomi hama kutu lilin (Pine Adelgid) selengkapnya adalah sebagai berikut :

ü Phylum : Arthropoda Latreille, 1829 - arthropods

ü Klas : Insekta Linnaeus, 1758 - insects

ü Ordo : Hemiptera

ü Subordo : Stenorrhyncha

ü Superfamili : Aphidoidea

ü Famili : Adelgidae

ü Genus : Pineus

ü Species : boerneri Annand, 1928

ü Scientific Name : Pineus boerneri Annand, 1928

Pada umumnya kutu lilin tubuhnya lunak, berukuran kecil (±1 mm), tinggal dan bereproduksi di pangkal pucuk bagian luar dari pohon Pinus. Kutu ini mengeluarkan lilin putih dari lubang yang terdapat di bagian dorsal.

Kutu betina mempunyai ovipositor, rostrum yang panjang, spirakel pada abdomen dan tidak aktif bergerak (sessile).

Sebagian besar famili Adelgidae mempunyai siklus hidup selama 2 tahun. P. boerneri adalah kutu yang aseksual sepanjang tahun dan memproduksi telur secara parthenogenesis. Biasanya mengisap spesies Pinus yang berdaun 2 dan 3.

Dengan sifat aseksual dan produksi telur parthenogenesis (berkembang biak tanpa perkawinan), maka populasi kutu ini cepat sekali berlipat ganda. Bila suatu petak tanaman pinus merkusii diketahui telah terserang, maka sangat mungkin bahwa pohon-pohon di petak-petak sekitarnya telah terserang namun populasi hama masih cukup rendah sehingga belum menunjukkan efek merusak yang terlihat mata.

Penyebaran dan fluktuasi populasi hama kutu lilin di lapangan dipengaruhi oleh faktor barrier (penghalang) berupa barrier alam (jurang, bukit), vegetasi (ada tidaknya vegetasi lain selain pinus), dan musim. Pertanaman pinus yang memiliki barrier alam dan vegetasi lain yang tinggi cenderung lebih lambat terserang dibanding pertanaman yang berada di bentang alam yang terbuka. Namun seiring waktu bilamana pohon-pohon pinus sudah tinggi (tinggi pohon pinus sudah menyamai/melebihi barrier yang ada) maka tingkat serangan hama kutu lilin juga meningkat. Serangan hama kutu lilin meningkat pada musim kemarau; pada musim hujan kutu lilin tertekan namun tetap ada dalam tegakan dalam populasi terbatas.

Dampak Serangan Hama Kutu Lilin Pinus

ü Ribuan hektar tanaman muda dan produktif telah terserang

ü Ribuan pohon, tanaman muda dan pohon umur produktif hidup merana, dan sudah banyak yang mati.

ü Akibat serangan pada pohon pinus yang sedemikian luas, maka produksi getah pinus sebagai sumber pendapatan perusahaan dapat terancam kelangsungannya.

ü Hama Kutu Lilin sangat mengancam kelangsungan tegakan pinus di Jawa

Pengendalian Hama Kutu Lilin

Dari berbagai data dan informasi diketahui bahwa ternyata hama jenis pencucuk pengisap (superfamili Aphidoidea) banyak menyebabkan kerusakan dan permasalahan sangat serius pada pohon-pohon jenis konifer (jenis-jenis pinus dan daun jarum) di berbagai negara. Serangan hama pencucuk pengisap telah mengakibatkan krisis di kehutanan negara-negara Afrika. Sampai dengan saat ini serangan hama aphid (pencucuk pengisap) ini sudah berjalan selama 40 tahun (keberadaan hama pertama kali diketahui tahun 1968).

Mengingat seriusnya permasalahan hama kutu lilin bagi keberlangsungan pengelolaan hutan pinus, maka diperlukan pengendalian hama secara terpadu, berkelanjutan dan menyeluruh oleh berbagai pihak terkait.

Upaya yang dapat diterapkan antara lain :

a. Karantina

b. Survei dan Monitoring : cara ini penting dilakukan untuk mengetahui perkembangan (penyebaran dan dampak) serangan hama kutu lilin dari waktu ke waktu secara detail. Dengan demikian maka keputusan langkah pengendalian (kapan dan dimana) dapat diambil secara tepat.

c. Pengendalian secara kimiawi : keuntungannya merupakan cara cepat untuk melindungi pohon; kerugiannya antara lain dapat mematikan parasit dan predator, di samping dampak polusi lingkungan..

d. Manipulasi Silvikultur : penggunaan jenis-jenis spesies alternatif, pemilihan tapak yang tidak cocok bagi hama kutu lilin, penjarangan tegakan yang terserang untuk meningkatkan kesehatan (vigoritas) pohon, penanaman lebih dari satu jenis spesies pada suatu lokasi pertanaman.

e. Pengendalian secara mekanik : melalui penggunaan perangkap dan penyemprotan air volume tinggi ke cabang-cabang. Cara ini tidak menimbulkan efek negatif pada lingkungan, tapi belum teruji untuk hama kutu lilin, juga perlu banyak tenaga pelaksana.

f. Observasi resistensi genetik : pada suatu tegakan pinus yang terserang hama kutu lilin. Dari berbagai observasi lapangan diketahui bahwa terdapat peluang adanya pohon resisten (pohon sehat hijau tidak dijumpai adanya serangan kutu lilin, pohon bersih dari kutu lilin) dan juga pohon toleran (kutu lilin menyerang, tapi pohon tetap sehat hijau tidak menunjukkan gejala sakit). Untuk mendapatkan pohon yang benar-benar resisten ataupun toleran, maka observasi kontinyu perlu dilakukan terhadap pohon-pohon kandidat resisten – toleran yang telah dipilih.

g. Pengendalian secara biologi, dilakukan dengan cara mengintroduksi musuh alami hama kutu lilin.

C. Hama dan Penyakit Tanaman Mahoni

Mahoni (Switenia sp) merupakan spesies dengan mutu kayu yang baik untuk bahan bangunan. Beberapa hama dan penyakit yang terindentifikasi antara lain :

a) Serangan pada persemaian mahoni disebabkan oleh Xylosandrus compactus (scolytid beetle) sejenis kumbang sisik yang menyerang batang semai. Merupakan famili Coleoptera, Scolyptidae. Hama ini meletakan telurnya di dalam batang, dan larvanya hidup di dalam batang tersebut, sehingga mengakibatkan kerusakan, dan semai tersebut roboh/mati. Selain pada semai, kadang hama ini juga meletakan telur-telurnya pada ranting dan cabang pohon lainnya.

b) Penggerek pucuk Hypsipyla robusta (shoot borer)

Merupakan famili Lepidoptera; Pyralida. Pada tingkat larva menyerang tegakan pada tingkat sapling terutama pada umur 3 – 6 tahun dengan tinggi antara 2 – 8 m, pada pohon dengan umur tua jarang dijumpai serangan ini. Dengan daur hidup 1 – 2 bulan, berbagai tingkatan larva dapat sekaligus melakukan penyerangan berulang kali.

Gejala yang nampak adalah pucuk tiba-tiba menjadi layu, mengering dan lama-lama mati. Jika dipotong bagian batang pucuk yang mati akan dijumpai terdapat larva kumbang (seperti ulat) berada di dalamnya.

Sampai saat ini belum ditemukan metode yang efektif guna mengatasinya. Pencegahan yang diajurkan antara lain penanaman multikultur (campur) antara mahoni dan akasia mangium (Matsumoto et al, 1997) dan pencampuran dengan Azadirachta indica (mimbo). (Suharti, 1995)

c) Ulat pemakan daun

Hama lain yang menyerang tanaman mahoni adalah ulat pemakan daun Attacus atlas (Lepidoptera, Saturnidae) dan sejenis lebah pemotong daun Megachile sp (Hymenoptera, Megachilidae). Serangan hama ini belum dianggap merugikan karena intensitas dan dampaknya yang masih minor/kecil.

d) Jamur akar

Jamur ini menyerang pada pertengahan musim hujan tumbuh dari bawah menyebar dengan cepat dan seringkali menyebabkan kematian pohon pada akhir musim hujan. Jamur ini diperkirakan menular melalui aliran air terutama pada daerah miring serta masuk lewat luka pada akar tanaman dan menyerang seluruh bagian tanaman. Serangan penyakit ini pernah terjadi pada tegakan mahoni di Puwodadi dan menyerang hampir 40% dari tegakan yang ada (Sumardi dan Widyastuti, tidak dipublikasikan).

D. Hama dan Penyakit Tanaman Sengon

Hama dan penyakit yang menyerang tanaman mahoni yang teridentifikasi seperti pada Tabel 2 berikut :

Tabel 2. Jenis Hama dan Penyakit Tanaman Sengon

No


Bagian Tanaman yang diserang


Jenis hama dan penyakit


Nama HPT umum


Keterangan

1.


Menggerek Batang


Xystrocera festiva (Coleoptera, Ceramycidae)

X. globosa


Hama boktor


2.


Pemakan daun


Pteroma plagiophleps (Lepidoptera,Psychidae)

Eurema blanda (Lepidoptera, Pieridae)


Ulat kantong kecil

Ulat kupu-kupu kuning


Serangan spradis

3.


Pemakan akar


Beberapa spesies (Coleoptera, Scarabaeidae)


Ulat putih


Menyerang sapling

4.


Pemakan kulit batang


Indarbela quadrinotata (Lepidoptera, Indarbelidae)


Ulat kulit batang


5.


Penggerek batang


Xylosandrus morigerus (Coleoptera, Scolytidae)


Kumbang sisik


6.


Damping-off


Pythium sp.

Phytoptora sp.

Rhizoctonia sp.


Lodoh akar/batang


Menyerang semai

7.


Penyakit Antraknosa


Colletotrichum sp.


Antraknosa


Menyerang semai

8.


Busuk akar


Botryo diplodia sp.

Ganoderma sp.

Ustulina sp.

Rosellinia sp.


Jamur akar


Menyerang tanaman muda

9.


Kanker karat/puru


Uromycladium tepperianum


Jamur karat


Menyerang semua umur

Sumber : Nair (2000)

Berikut dijelaskan beberapa jenis HPT yang berpotensi besar kerusakannya.

1. Penyakit Karat Puru

Serangan karat puru pada sengon ditandai dengan terjadinya pembengkakan (galls) pada ranting/cabang, pucuk-pucuk ranting, tangkai daun dan helaian daun. Gall ini merupakan tubuh buah dari jamur.

Penyakit karat puru dapat menjadi persoalan yang serius dalam pengelolaan tanaman sengon. Penyebaran penyakit ini sangat cepat. Penyakit ini menyerang sengon mulai dari persemaian sampai lapangan dan pada semua tingkat umur. Kerusakan serius bila serangan terjadi pada tanaman muda (umur 1- 2 tahun), karena titik-titik serangan (gall) bisa terjadi di batang utama sehingga batang utama rusak/cacat, tidak dapat menghasilkan pohon berkualitas batang yang tinggi).

Penyebab penyakit karat puru yang menyerang tegakan sengon adalah jamur Uromycladium tepperianum. Jamur ini dikenal sebagai jamur karat yang menyerang lebih dari seratus spesies Acacia, jenis-jenis Paraserianthes/Albizia spp., Racosperma spp. (ketiganya merupakan anggota famili Fabaceae {= Leguminosae}), menyebabkan pembengkakan (gall) yang menyolok pada dedaunan dan ranting pohon.

Setiap gall karat puru dapat melepaskan ratusan sampai ribuan spora yang dapat menularkan ke pohon-pohon sekitarnya dengan cepat melalui bantuan angin. Ukuran, bentuk, dan warna gall bervariasi tergantung bagian tanaman yang terserang dan umur gall. Warna gall pada awalnya hijau kemudian berubah menjadi coklat. Warna coklat indikasi bahwa spora-spora yang melimpah siap dilepaskan.

Sebaran geografi penyakit ini adalah di Australia, New Caledonia, Papua New Guinea (1984), Maluku (1988/1989), Afrika Selatan (1992), Sabah (1993), Philiphina (1997), Timor-Timur (mulai tahun 1998), dan Jawa (mulai 2003). Di Jawa, beberapa sentra sengon yang diketahui telah terserang penyakit karat puru antara lain : Lumajang, Jember, Banyuwangi, Probolinggo, Malang, Wonosobo, Boyolali, Salatiga, dan Wonogiri.

Pencegahan dan Pengendalian :

1. Untuk serangan penyakit karat puru di persemaian, maka semai yang menunjukkan gejala serangan harus segera dicabut dan dimusnahkan (dibakar).

2. Untuk mencegah perluasan sebaran penyakit karat puru, perlu pengawasan yang ketat tentang transportasi benih, bibit, dan kayu tebangan dari daerah yang diketahui telah terserang ke daerah yang belum terserang.

3. Pemeliharaan tanaman yang sudah ada (pemupukan dan penjarangan).

4. Untuk tanaman yang telah terserang, maka upaya yang perlu dilakukan adalah menghilangkan gall dan bagian tanaman yang terserang sedini mungkin, sebelum gall membesar dan berwarna coklat. Langkah selanjutnya adalah mematikan sel-sel penyakit karat puru di bagian yang terserang agar tidak tumbuh gall lagi.

5. Untuk mematikan sel-sel penyakit di bekas gall di atas dapat digunakan spiritus, kapur, garam, dan belerang. Caranya adalah sebagai berikut :

ü Spiritus : Bagian tanaman yang terserang dibersihkan dengan cara mengelupas gall tersebut dari batang/cabang/pucuk. Kemudian bagian tersebut disemprot/ dioles dengan spirtus

ü Kapur + garam (5 kg kapur + 0,5 kg garam) dicampur dalam 5 – 10 liter air. Bagian tanaman yang terserang dibersihkan dari gallnya, kemudian disemprot/dioles dengan campuran kapur garam

ü Belerang 1 kg + kapur 1 kg (1 : 1) + air 10/20 liter, diaduk hingga rata. Bagian tanaman yang terserang dibersihkan dari gallnya, kemudian bagian tersebut disemprot/dioles larutan belerang kapur.

6. Menghindari penanaman sengon untuk sementara, terutama di dataran tinggi yang berkabut.

7. Untuk pengendalian jangka menengah dan jangka panjang dilakukan dengan cara rotasi tanaman dan pemuliaan tanaman sengon.

a. Rotasi tanaman : penggantian sengon sebagai tanaman pokok, diganti dengan jenis-jenis FGS yang potensial dan tidak menjadi inang jamur Uromicladium sp. Selama ini yang menjadi inang penyakit karat puru adalah dari jenis-jenis famili Fabaceae/Leguminosae, seperti jenis-jenis Acacia spp, Paraserianthes/Albizzia spp. dan Racosperma spp.

b. Pemuliaan tanaman sengon : dicari individu-individu pohon sengon yang tahan terhadap penyakit karat puru.

2. Hama Boktor (Xystrocera festiva, ordo Coleoptera)

Titik awal serangan hama boktor adalah adanya luka pada batang. Umumnya telur diletakkan pada celah luka di batang. Telur baru ditandai utuh, belum berlubang-lubang; bila telur sudah berlubang-lubang dimungkinkan bahwa telur sudah menetas.

Sejak larva keluar dari telur yang baru beberapa saat menetas, larva sudah merasa lapar dan segera melakukan aktivitas penggerekan ke dalam jaringan kulit batang di sekitar lokasi dimana larva berada. Bahan makanan yang disukai larva boktor adalah bagian permukaan kayu gubal (xylem) dan bagian permukaan kulit bagian dalam (floem). Adanya serbuk gerek halus yang menempel pada permukaan kulit batang merupakan petunjuk terjadinya gejala serangan awal.

Pengendalian Hama Boktor

Ada 6 prinsip pengendalian hama boktor pada tegakan sengon, yaitu cara silvikultur, manual, fisik/mekanik, biologis, kimiawi dan terpadu.

Pengendalian secara silvikultur dilakukan dengan :

ü Upaya pemuliaan, melalui pemilihan benih/bibit yang berasal dari sengon yang memiliki ketahanan terhadap hama boktor.

ü Penebangan pohon terserang dalam kegiatan penjarangan (Tebangan E).

Pengendalian secara manual, antara lain dilakukan dengan :

ü Mencongkel kelompok telur boktor pada permukaan kulit batang sengon,

ü menyeset kulit batang tepat pada titik serangan larva boktor sehingga larva boktor terlepas dari batang dan jatuh ke lantai hutan

ü diperlukan ketrampilan petugas dalam mengenali tanda-tanda serta gejala awal serangan hama boktor.

Pengendalian secara fisik/mekanik, antara lain dilakukan dengan :

ü kegiatan pembelahan batang sengon yang terserang boktor,

ü pembakaran batang terserang boktor sehingga boktor berjatuhan ke tanah,

ü dengan cara pembenaman batang terserang ke dalam tanah.

Pengendalian secara biologis, dilakukan dengan :

ü menggunakan peranan musuh alami berupa parasitoid, predator atau patogen yang menyerang hama boktor,

ü caranya dengan membiakkan musuh alami kemudian melepaskannya ke lapangan agar mencari hama boktor untuk diserang, musuh alami ini diharapkan akan mampu berkembang biak sendiri di lapangan.

ü Teknik pengendalian secara biologis yang pernah dicoba antara lain : parasitoid telur boktor (kumbang pengebor kayu Macrocentrus ancylivorus), jamur parasit (Beauveria bassiana), dan penggunaan predator boktor (kumbang kulit kayu Clinidium sculptilis).

Pengendalian secara kimiawi, dilakukan dengan :

ü aplikasi insektisida melalui cara bacok tuang, takik oles, bor suntik maupun semprot;

ü cara kimiawi tersebut ternyata tidak efektif untuk mengendalikan hama boktor.

Pengendalian secara terpadu, dilakukan dengan :

ü penggabungan dua atau lebih cara pengendalian guna memperoleh hasil pengendalian yang lebih baik;

ü contohnya pengendalian dengan cara menebang pohon yang terserang, kemudian batang yang terserang tersebut segera dibakar atau dibelah agar tidak menjadi sumber infeksi bagi pohon yang belum terserang.

3. Hama Ulat Kantong

Hama ulat kantong (Pteroma plagiophleps : Lepidoptera, Psychidae) menyerang daun-daun tanaman sengon. Hama ini tidak memakan seluruh bagian daun, hanya parenkim daun yang lunak; menyisakan bagian daun yang berlilin. Daun-daun tajuk yang terserang terdapat bercak-bercak coklat bekas aktivitas ulat. Bilamana populasi ulat tinggi dapat menyebabkan kerugian yang serius.

4. Penyakit Jamur Akar Merah (Ganoderma sp.)

Serangan penyakit jamur akar merah menyebabkan kematian pohon-pohon di tegakan sengon. Gejala yang mudah diamati adalah menipisnya daun-daun di tajuk sengon kemudian pohon mengering. Tanda keberadaan jamur dapat diamati pada pangkal pohon yang terserang; pada pangkal batang/leher akar keluar tubuh buah jamur Ganoderma berwarna merah kecoklatan, terutama pada musim penghujan. Keluarnya tubuh jamur mengindikasikan bahwa serangan pada pohon telah berlangsung lama, tingkat serangan sudah parah. Jamur ini menyebabkan busuknya perakaran pohon sehingga tanaman mati.

Kasus kerusakan akibat penyakit jamur akar merah ini di tegakan sengon masih jarang, belum banyak dijumpai. Namun demikian bilamana kasus serangan sudah dapat dijumpai maka pada tahun-tahun mendatang potensi kerusakan/kematian pohon pada tegakan akan semakin membesar.

Hal ini seperti yang telah terjadi pada pengusahaan tanaman Acacia mangium di HTI Luar Jawa, dan di Semenanjung Malaysia. Penyakit ini telah menyebabkan kerusakan yang serius, menyebabkan kematian cukup besar pada tanaman Acacia mangium. Kerusakan yang cukup besar pernah dilaporkan terjadi bahwa pada penyakit ini menjadi utama pada tanaman A. mangium umur 3 tahun dan menyebabkan kerusakan sebesar 40% dari total tanaman umur 8 tahun. Kerusakan yang ditimbulkan pada daur kedua umumnya lebih parah dan lebih awal menyerang tanaman dibandingkan serangan pada tegakan daur tebangan pertama.

Upaya pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan cara pembersihan tonggak pohon-pohon pada lokasi yang telah terserang, pembuatan parit isolasi, serta penggunaan pestisida.

E. Hama dan Penyakit Tanaman Acasia mangium

Pada persemaian Akasia mangium seringkali terjadi serangan hama diantaranya serangga tanaman, belalang dan ulat kantong dan jamur akar yang menyebabkan berbagai kerusakan. Beberapa hama dan penyakit yang teridentifikasi antara lain :

Tabel 3. Jenis hama dan Penyakit tanaman Akasia mangium

No


Tipe Kerusakan


Penyebab


Keterangan

Nama Ilmiah


Nama Umum

1


2


3


4


5

1


Penggerek akar


Coptotermes curvignathus (Isoptera, Rhinotermitidae)


Rayap


Menyebabkan kematian tingkat saplings

2


Pemakan daun


Pteroma plangiophelps

(Lepdoptera, Psychidae)


Ulat kantong


Menyerang pada saplings muda





Valanga nigricormis

(Orthoptera, Acrididae)


Belalang


3


Pencucuk pengisap


Helopeltis theivora


Serangga nyamuk


Menyerang pada saplings muda

4


Penggerek ranting


Xylosabdrus sp dan Xyleborus fomicatus


Penggerek ranting


Menyerang cabang muda

5


Penggerek batang


Xytocera festiva


Penggerek batang


6


Karat daun


Atelocauda digitata


Karat daun


7


Powder mildew (daun)


Oidium spp.


Embun tepung


8


Black mildew (daun


Meliola spp.


Embun jelaga


9


Bintil daun


Cercospora, petalotiopsis, Collectitricum spp.


Bintil daun


10


Kanker batang


Corticium salmonicolor


Penyakit pink


11


Kanker hitam


Pytophtora palmivora

Cystospora sp.

Hypixylon mammatum


Kanker hitam


12


Busuk hati


Phellinus noxius

Rigidoporus hypobrunneus

Tinctoporellus epimitinus


Jamur upas


13


Busuk akar merah


Ganoderma philipii



Jamur akar merah


14


Busuk akar putih


Rigidoporus microporus


Jamur akar putih


Sumber : Nair (2000)

Di antara hama di atas Helopeltis theivora merupakan jenis hama yang paling potensial menyebabkan kerusakan. Hal ini terjadi karena hama menghisap cairan tanaman yang masih berumur muda, sehingga akan mengakibatkan tanaman kekeringan lalu mati.

Penyakit pada tanaman akasia mangium yang teridentifikasi antara lain :

Busuk hati/penyebab jamur upas (Corticium salmonicolor). Gejala-gejala yang dijumpai yaitu :

- Tanaman muda daun-daunnya mengalami klorosis, menguning hampir secara sistematik menyeluruh pada semua daun.

- Terdapat bercak kecoklatan tidak beraturan pada helaian daun yang telah menguning kemudian mengering dan rontok

- Pada akar ditemukan kerusakan dengan kulit akar mudah lepas

- Terdapat gejala seperti tersiram air panas atau lonyoh

Adapun cara penanggulangan antara lain dengan cara :

- Dengan aplikasi pupuk tepung belerang dan pupuk organik berupa humus atau pupuk kandang untuk menurunkan PH.

- Mengganti jenis tegakan yang lebih mampu bertahan pada pH cukup tinggi.

F. Hama dan Penyakit Tanaman Sonokeling

Serangan hama dan penyakit pada tanaman sonokeling hanya menyebabkan kerusakan kecil pada pohon (Prawiroadtmojo, 1993). Serangan hama umumnya menyerang akar yang disebabkan oleh Macrotermes gilvus dan Odontotermes grandiceps.

Kerusakan akibat penyakit pada tanaman ditandai dengan daun muda yang menggulung (nglinthing – Jawa) dan perubahan warna pada daun tua yang diikuti serangan warna merah pada kayu gubal yang akhirnya akan menyebabkan kematian. Serangan ini disebakan oleh jamur Fusarium solani.

Serangan penyakit lainnya adalah jamur akar Ganoderma yang dapat menyebabkan kematian pohon. Pada persemaian sonokeling kematian tinggi disebabkan oleh jamur dumping-off penyebab jamur upas (Corticium salmonicolor).

G. Hama dan Penyakit Tanaman Mindi

Mindi atau sering disebut dengan nama gringging (Melia azedarach L) merupakan tumbuhan berhabitus pohon termasuk dalam kelompok Meliaceae. Pohon besar dapat mencapai tinggi 45 m, diameter mencapai 60 -120 cm. Berdasarkan pengamatan di lapangan tinggi bebas cabang 8-20 m bahkan dapat mencapai 25 m. Tajuk menyerupai payung, dengan percabangan melebar, kadang menggugurkan daun.

Hama dan penyakit yang menyerang tanaman mindi adalah hampir sama dengan jenis-jenis HPT yang menyerang tanaman mahoni. Penyakit yang berupa bakteri dan jamur yang menyerang bagian daun, ranting dan buah mindi, biasanya tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Pohon mindi mudah diserang penggerek pucuk Hypsipyla robusta dan batangnya diserang kumbang ambrosia Xyleborus ferrugineus yang dapat menyebabkan kualitas kayu menurun.

Pengendalian hama penggerek pucuk dapat dilakukan dengan tindakan silvikultur antara lain menggunakan bibit yang tahan hama dan penyakit, menanam pohon dengan lahan yang sesuai dan dilakukan penyiangan, pemupukan, pemangkasan cabang dan penjarangan untuk mengurangi serangan hama. Dapat pula dengan melakukan penanaman campuran dan memotong pucuk yang terserang. Cara lain dengan menyuntikkan insektisida setelah batangnya ditakik. (Balitbang Kehutanan, 2001).

H. Hama dan Penyakit Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi)

Sedikit sekali di Indonesia dijumpai hama dan penyakit pada tanaman kayu putih. Berikut dijelaskan bebrapa jenis yang teridentifikasi pada hutan tanaman kayu putih di pulau Jawa.

1. Hama Rayap

Hama rayap sering menjadi permasalahan utama penyebab kematian tanaman kayu putih di lapangan. Rayap menyerang tanaman umur 0 – 5 tahun, dengan resiko terparah pada tanaman kayu putih umur 0 – 1 tahun. Serangan hama rayap terjadi pada kondisi hujan belum/tidak teratur (awal penghujan maupun akhir penghujan).

Rayap memakan akar atau kulit (jaringan floem) di leher akar dan pangkal batang. Bila akar tanaman muda diserang maka distribusi nutrisi dari tanah terputus sehingga tanaman layu dan mati. Bila kerusakan terjadi pada leher akar/pangkal batang menyebabkan akar tidak mendapat suplai makanan sehingga secara perlahan tanaman menjadi layu dan mati karena akar kehilangan energi untuk menyerap nutrisi dari tanah. Serangan pada bagian akar lebih beresiko dibandingkan serangan pada bagian leher akar.

Tingginya kasus serangan hama rayap pada tanaman kayu putih tidak terlepas dari tingginya bahan organik yang kaya selulosa yang menjadi sumber makanan rayap di sebagian besar lokasi tanaman kayu putih. Bahan organik tersebut berasal dari sisa-sisa tumpangsari (seperti : jagung, palawija, padi) yang berlangsung terus-menerus di lokasi tanaman kayu putih. Sisa panen umumnya ditumpuk di jalur tanaman pokok kayu putih. Dengan demikian rayap selalu ada di petak tanaman kayu putih dan menimbulkan resiko kerusakan tinggi pada tanaman muda.

Pencegahan dan Pengendalian :

ü Pemanfaatan abu sisa serasah daun kayu putih atau sisa panen tumpangsari. Abu ditaburkan di pangkal batang pada saat tanaman rawan serangan rayap, dan atau ditabur di pangkal batang saat penanaman. Abu kayu dilaporkan dapat mencegah rayap mendekati tanaman.

ü Monitoring rutin terutama pada musim-musim dimana rawan serangan rayap. Dengan monitoring rutin dapat diketahui secara dini gejala serangan, sehingga dapat segera diambil tindakan guna pengendaliannya, mengurangi resiko kerusakan lebih besar.

ü Jika tanaman muda telah terserang (pangkal batang/leher akar sudah terkelupas), maka untuk mengurangi resiko kerusakan lebih parah (kematian), maka pangkal batang yang rusak perlu ditimbun tanah. Hal ini berguna untuk merangsang pembentukan kalus sehingga dapat tumbuh kulit baru ataupun tumbuh akar baru sehingga tanaman dapat tumbuh lagi.

ü Mengurangi kerusakan mekanis, terutama pada lahan tumpangsari. Rusak/terputusnya akar akibat pengolahan tanah dapat meningkatkan stress (menurunkan vigoritas) tanaman sehingga tanaman mudah terserang hama penyakit. Untuk itu jalur tanaman pokok harus dibebaskan dari tanaman tumpangsari.

ü Bibit yang ditanam di lapangan harus bibit siap tanam (ukuran tinggi minimal 40 cm, dalam kondisi sehat/vigor) sehingga lebih tahan terhadap stress lingkungan di lapangan. Bibit yang sehat cenderung kurang disukai oleh hama (rayap).

ü Mencegah penumpukan sisa panen tumpangsari di jalur tanaman pokok ataupun tetap menumpuk di dalam petak tanaman, karena sisa panen yang menumpuk tersebut akan mengundang rayap. Serasah/sisa panen tumpangsari tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber penyedia abu, yang dapat digunakan untuk mencegah serangan rayap pada tanaman-tanaman muda.

ü Menghilangkan sarang-sarang rayap.

ü Pemilihan lokasi rendah resiko

2. Hama Pengisap Pucuk dan Ulat Penggerek Pucuk Kayu Putih

(Penyebab Pucuk Daun Kayu Putih Kering - Keriting)



Ada dua kelompok hama, yaitu kelompok hama pencucuk pengisap, dan kelompok hama penggerek pucuk/daun.

Kedua hama ini menyebabkan pucuk-pucuk tanaman kayu putih menjadi kering dan daun keriting. Hal ini mengakibatkan produksi panen daun kayu putih menjadi berkurang.

Hama pengisap (ordo Homoptera-Hemiptera) yang mengisap pucuk-pucuk ranting, memiliki ciri-ciri sebagai berikut : warna coklat tua, ukuran panjang ± 1,5 mm, tipe mulut pencucuk pengisap, memiliki sungut/antena panjang, memiliki struktur mirip kornikel panjang di bagian posterior dorsal abdomen, jumlah kaki 3 pasang, tubuh keras. Hama ini menyebabkan pucuk tunas muda layu dan kering.

Di samping kutu coklat di atas, untuk kelompok hama pencucuk pengisap juga dapat dijumpai jenis kutu putih/kutu sisik (pseudococcidae = mealybug), yang sering bersimbiosis dengan semut hitam. Bilamana populasi tinggi keberadaan hama ini juga merugikan.

Adapun ulat penggerek pucuk menyebabkan daun berlubang-lubang, keriting, pucuk kering. Aktivitas ulat penggerek dengan kutu pengisap pucuk menyebabkan turunnya produksi biomassa kayu putih.

Pengendalian hama pucuk kayu putih

Kegiatan pengendalian dilakukan dengan penyemprotan insektisida, dilakukan bilamana kerusakan sudah mencapai ambang ekonomis. Insektisida yang digunakan adalah insektisida jenis kontak.

UPAYA PENCEGAHAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN

Upaya pencegahan hama dan penyakit ditujukan untuk mempersempit potensi serangan HPT. Upaya tersebut adalah dengan mengelola/memanipulasi lingkungan bio-fisik yang tidak disukai HPT tersebut. HPT akan berkembang dengan baik jika lingkungan bio-fisik mendukung perkembangannya serta jumlah pakan/makanan tersedia melimpah. Oleh karena itu, upaya pencegahan HPT didorong pada upaya monitoring rutin dan sistem silvikultur yang mendukung tanaman dan tidak mendukung HPT.

A. Monitoring hama dan penyakit

Monitoring hama dan penyakit sebagai sistem pencegahan serangan hama dan penyakit merupakan tindakan deteksi dini dan preventif untuk mengetahui secara cepat hama dan penyakit yang menyerang sehingga dengan segera dapat dilakukan tindakan pemberantasan. Monitoring secara prinsipnya dilakukan pada setiap elemen kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan terutama diarahkan pada elemen kegiatan dimana diindikasikan terkait erat dengan adanya serangan dan pemberantasan dan atau pengendalian hama dan penyakit tanaman.

Metode identifikasi hama dan penyakit menggunakan metode yang akan disampaikan pada berikutnya. Secara detail monitoring mencatat lokasi dan jumlah individu yang terserang, gejala dan tanda serta perkiraan kerugian dengan menggunakan dasar BSR atau nilai yang ditaksir serta waktu serangan. Adapun format Laporan Monitoring Hama dan Penyakit seperti pada lampiran buku ini.

Monitoring hama dan penyakit dilakukan pada kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sebagai berikut ;

1. Kegiatan Persemaian

Persemaian merupakan suatu areal atau tempat yang digunakan untuk memproses benih atau bahan lain dari tanaman menjadi semai atau bibit siap tanam. Keberhasilan pembuatan persemaian menjadi dasar bagian keberhasilan tahapan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan selanjutnya. Secara umum beberapa tahapan kegiatan persemaian antara lain :

ü Perencanaan persemaian meliputi kegiatan pemilihan lokasi persemaian, penentuan luas persemaian dan kebutuhan benih.

ü Persiapan lapangan meliputi pembuatan rencana tapak, pembuatan dan pemasangan pal batas, pembersihan lapangan, pengolahan tanah dan penataan lapangan, pembuatan bedengan, pembuatan naungan, penyiapan media dan penanganan benih.

ü Penyemaian meliputi kegiatan perlakuan benih, pencapuran media tabur dan media sapih, penaburan dan penyapihan.

ü Pemeliharaan meliputi kegiatan penyiraman, pembersihan/penyiangan rumput, pemupukan, penyulaman dan seleksi.

Monitoring diarahkan dengan sasaran obyek semai mulai berkecambah sampai dengan bibit siap kirim ke lapangan. Dengan latar belakang bahwa semai mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi terhadap serangan hama dan penyakit maka monitoring dilaporkan setiap minggu oleh mandor persemaian.

Metode identifikasi hama dan penyakit menggunakan metode seperti disampaikan pada bab berikutnya. Secara detail monitoring mencatat lokasi dan jumlah individu yang terserang, gejala dan tanda serta perkiraan kerugian dengan menggunakan dasar BSR atau nilai yang ditaksir serta waktu serangan.

2. Kegiatan Tanaman (1 – 3 tahun)

Kegiatan tanaman (1-3 tahun) terdiri dari kegiatan penanaman, pemeliharaan tahun I dan pemeliharaan tahun ke II.

a) Kegiatan penanaman

Kegiatan penanaman terbagi ke dalam beberapa tahapan kegiatan yaitu :

§ Persiapan lapangan meliputi kegiatan pembersihan (tumpangsari dilaksanakan bulan Mei; banjarharian bulan Agustus-September) dan pengolahan lapangan (tumpangsari bulan Mei-Agustus; banjarharian 1-2 bulan sebelum penanaman).

§ Pembuatan dan pemasangan acir (tumpangsari bulan Agustus-September; banjarharian September-Oktober).

§ Pembuatan lubang tanaman (bulan September-Oktober)

§ Penanaman (November-Desember)

Pada kegiatan penanaman monitoring dilakukan setiap Triwulan dilakukan oleh Mandor Tanam. Kerentanan pada lokasi tanaman Tahun I terjadi karena terkait siklus tata waktu hama dan penyakit yang bersamaan dengan mulainya musim penghujan.

b) Kegiatan pemeliharaan tanaman tahun II dan III

Pemeliharaan dilakukan pada lokasi tanaman dengan sistem banjarharian meliputi :

§ Babat jalur dilaksanakan 3 (tiga) kali dalam satu tahun pada Triwulan I, II dan IV. Pembabatan tanaman secara jalur slebar 2 m pada jalur tanaman pokok.

§ Dangir piringan dilaksanakan 2 (dua) kali dalam satu tahun pada Triwulan I dan IV. Dangir piringan berbentuk bundar dengan diameter 1 m pada tanaman pokok, pengisi dan tepi dilakukan pendangiran jalur.

Pada kegiatan pemeliharaan ini monitoring dilakukan setiap selesai pekerjaan dilakukan oleh Mandor Tanam atau Mandor Pelaksana lainnya.

3. Kegiatan Pemeliharaan 4-5 tahun

Kegiatan pemeliharaan 4-5 tahun (pemeliharaan lanjutan) merupakan rangkaian kegiatan silvikultur guna mendapatkan tegakan yang bernilai tinggi. Kegiatan tersebut ditujukan untuk membebaskan tanaman pokok dari gangguan persaingan dengan tumbuhan liar atau semak belukar tanpa mengganggu perakaran tanaman pokok. Kegiatan tersebut berupa :

· Kegiatan penyiangan/pembersihan tumbuhan liar

· Pemangkasan tanaman sela/pagar

· Pangkas cabang (pruning)

· Gebrus jalur

· Pemupukan

Pada kegiatan pemeliharaan ini monitoring dilakukan setiap selesai pekerjaan dilakukan oleh Mandor RKP atau Mandor Pelaksana lainnya.

4. Kegiatan Penjarangan

Penjarangan adalah suatu perlakuan silvikultur berupa pengaturan ruang tumbuh tanaman dan penyeleksian tegakan yang akan dipelihara hingga akhir daur sehingga diperoleh tegakan yang merata (ruang tumbuh tidak rapat), tumbuh sehat dan berbatang lurus dan memperoleh hasil antara dari kegiatan tersebut sehingga pada akhir daur dapat diperoleh tegakan hutan dengan massa kayu besar dan kualitas kayu tinggi. Pada kegiatan Tunjuk Seset Polet (TSP) yang merupakan kegiatan penentuan pohon-pohon yang akan ditebang dalam kegiatan penjarangan. Kriteria dan urutan prioritas pohon yang akan dimatikan adalah sebagai berikut :

· Pohon yang terserang penyakit

· Pohon yang cacat/jelek

· Pohon tertekan yang tingginya kurang dari ¾ peninggi (kecuali bila menimbulkan open plek).

· Pohon yang tumbuhnya abnormal

· Pohon yang terlalu rapat yaitu jaraknya lebih kecil dari jarak rata-rata normal.

Pada kegiatan penjarangan diharapkan tindakan penebangan jangan sampai menimpa pohon-pohon yang ditinggalkan karena hal tersebut dapat mengakibatkan cacat yang berupa patah cabang, luka batang dan sebagainya yang akan mengakibatkan menjadi pintu masuk bagi inger-inger atau HPT yang lainnya.

B. Sistem Silvikultur

Silvilkutur adalah ilmu dan seni dalam mengelola sumberdaya hutan sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Pendekatan silvikultur merupakan pendekatan yang sangat penting dalam pencegahan hama dan penyakit tanaman. Pendekatan silvikultur dapat dianggap sebagai pencegahan hama dan penyakit terpadu, dimana permasalahan terletak pada beberapa faktor yang tidak dapat dikendalikan sehingga strategi diarahkan pada faktor yang dapat dikontrol. Pencegahan hama dan penyakit terpadu merupakan strategi yang menggunakan dan menggabungkan metode pengendalian yang dapat dikontrol dengan tujuan untuk mengendalikan populasi hama pada tingkat yang diterima, tanpa memusnahkan sama sekali yang dapat berakibat menggganggu keseimbangan ekosistem. Hal tersebut dilakukan dengan mengendalikan jumlah populasi hama dan penyakit serta lingkungannya sehingga diperlukan pengetahuan ekologi hama dan penyakit dan makluk hidup yang terkait dengannya.

Pengendalian hama terpadu juga harus mempertimbangkan biaya yang ada, jangan sampai biaya yang dikeluarkan lebih besar dari pendapatan yang akan diterima. Kondisi lahan dan pengelolaan tegakan yang baik akan meminimalisir dampak kerusakan hama dan penyakit. Pada banyak kasus dijumpai bahwa lahan dengan tingkat drainase dan aerasi baik serta kondisi pH 5,5 – 7 merupakan lahan ”yang tidak nyaman” bagi tempat tinggal hama dan penyakit tanaman. Di sisi lain kondisi lahan yang dikelola dengan tidak memernuhi persyaratan tersebut akan membuat hama dan penyakit merasa cozy. (FAO, tanpa tahun).

Tindakan silvikultur diarahkan untuk mengendalikan populasi hama dan penyakit atau mengelola lingkungan sehingga meminimalkan dampak serangan hama dan penyakit. Efektifitas tindakan silvikultur juga tergantung pada karateristik hama dan penyakit yang menyerang. Cara silvikultur, dilakukan dengan menyediakan lingkungan tempat tumbuh tanaman hutan sehingga dapat diperoleh tanaman sehat dengan produktivitas tinggi. Aplikasi silvikultur untuk penanganan penyakit layu bakteri adalah dengan memperbaiki drainase lahan dan pengaturan jenis tanaman tumpangsari pada tanaman pokok jati/rimba. Kedua langkah tersebut perlu dilakukan agar dapat diperoleh zona perakaran jati yang sarang, tidak jenuh air, sebuah persyaratan yang dibutuhkan bagi budidaya jati yang sehat. Perbaikan drainase lahan dilakukan dengan pembuatan parit-parit drainase khususnya di daerah-daerah dengan topografi datar. Jenis tumpangsari jati – padi cenderung menciptakan lingkungan tempat tumbuh yang buruk bagi tanaman pokok jati.

Beberapa tindakan atau kegiatan yang dilakukan guna melakukan pencegahan hama dan penyakit antara lain :

1. Lingkungan fisik

a) Pengaturan drainase

Pengaturan drainase bertujuan untuk menciptakan sistem tata air mikro yang dapat menciptakan drainase yang baik sehingga tingkat kelembaban pada kondisi yang tidak dapat atau menghambat tumbuh dan berkembangnya hama dan penyakit.

b) Pengolahan tanah

Pengolahan tanah bertujuan untuk menciptakan tingkat aerasi yang baik yang berguna bagi tanaman pokok dan menciptakan lingkungan yang tidak nyaman bagi hama dan penyakit.

Pengolahan tanah dapat dilakukan dengan menambahkan pupuk sehingga kandungan humus akan meningkat. Maka kemampuan tanah untuk mengikat air menjadi tinggi dan tanah menjadi tidak mudah kering.

2. Lingkungan Biologi

a) Pemilihan jenis yang tepat

Jenis tanaman dengan sifat resisten terhadap serangan hama dan penyakit dapat diperoleh secara alami atau dengan penerapan bioteknologi berupa pemuliaan pohon. Setiap spesies atau varietas mempunyai mekanisme pertahanan terhadap hama dan penyakit yang berbeda. Pemilihan jenis yang resisten ini tidak dapat bertujuan untuk menghilangkan hama sama sekali karena hama juga mempunyai mekanisme evolusi tersendiri untuk beradaptasi tapi minimal dapat menekan laju perkembangan hama dan penyakit.

Pemilihan jenis yang tepat dapat dilakukan dengan pengamatan umum tegakan yang telah lama tumbuh di tempat (indigenous trees) dengan mempertimbangkan aspek lainnya. Penanaman jenis eksotis harus dicampur dengan jenis lokal guna meminimalisir dampak serangan hama dan penyakit.

b) Pemilihan bibit yang sehat

Pemilihan bibit yang sehat sangat penting dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap HPT yang dicirikan dengan batang kuat, daun segar (hijau dan tidak berlubang), fisik tidak tampak adanya serangan bakteri patogen, dll.

c) Pengaturan pola tanam dan jarak tanam

Pengaturan pola tanam terkait dengan hama dan penyakit ditujukan untuk menciptakan tingkat kelembaban tanah yang tidak terlalu tinggi. Pola tanam dan pemilihan jenis tanaman tumpangsari yang dapat mendukung berkembangbiaknya hama dan penyakit. Pengaturan pola tanam dan jarak tanam disesuaikan dengan jenis tanaman. Pengaturan jenis tumpangsari, perlu dipilih jenis tanaman tumpangsari yang tidak mensyaratkan penggenangan air/tanah dan selalu lembab. Apabila kondisi lahan cenderung lembab agar diupayakan penggantian jenis non jati yang toleran terhadap kelembaban tanah yang tinggi.

d) Pemeliharaan intensif

Kegiatan pemeliharaan intensif dapat dilakukan melalui :

· Pembersihan tanaman dari faktor-faktor pengganggu (gulma, benalu)

· Pemupukan (dilakukan pada awal penanaman, selang 3 bulan/6 bulan, setelah 2 tahun tidak dilakukan pemupukan)

· Pemantauan adanya hama yang harus dilaksanakan secara terus-menerus

e) Penjarangan

Pada kegiatan Tunjuk Seset Polet (TSP) yang merupakan kegiatan penentuan pohon-pohon yang akan ditebang dalam kegiatan penjarangan. Kriteria dan urutan prioritas pohon yang akan dimatikan adalah sebagai berikut :

· Pohon yang terserang penyakit

· Pohon yang cacat/jelek

· Pohon tertekan yang tingginya kurang dari ¾ peninggi (kecuali bila menimbulkan open plek).

· Pohon yang tumbuhnya abnormal

· Pohon yang terlalu rapat yaitu jaraknya lebih kecil dari jarak rata-rata normal.

Pada kegiatan penjarangan diharapkan tindakan penebangan jangan sampai menimpa pohon-pohon yang ditinggalkan karena hal tersebut dapat mengakibatkan cacat yang berupa patah cabang, luka batang dan sebagainya yang akan mengakibatkan menjadi pintu masuk bagi inger-inger dan HPT lainnya.

Rencana pengelolaan perlindungan sumber daya hutan dari gangguan hama dan penyakit tanaman secara lengkap sesuai dengan Lampiran 1.



UPAYA PENGENDALIAN SERANGAN HAMA DAN PENYAKIT

A. Identifikasi Gejala Dan Tanda Kerusakan Tanaman

Identifikasi gejala dan tanda kerusakan ditujukan untuk memudahkan dalam mengambil kebijakan pengendaliannya. Kesalahan dalam identifikasi tanda dan gejala akan mengakibatkan kesalahan dalam pengendalian serangan HPT. Selain untuk mengidentifikasi serangan hama dan penyakit juga untuk mengetahui penyebab kerusakan apakah disebabkan oleh hama atau penyakit (patogen atau abiotik).

Mekanisme pelaksanaan identifikasi gejala dan tanda dan inventarisasi lokasi terkena HPT adalah sebagai berikut :

1. Asper/KBKPH beserta KRPH melakukan kegiatan inventarisasi lokasi/petak-petak yang terserang hama penyakit. Inventarisasi lokasi dilakukan untuk mengetahui data-data detail meliputi : letak/lokasi, jenis tanaman yang terserang hama dan penyakit tanaman, luasan atau jumlah individu dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan serta proses kronologis serangan hama dan penyakit.
2. Asper membuat laporan hasil inventarisasi ke KPH untuk dilakukan identifikasi gejala dan tanda serangan hama dan penyakit.
3. Berdasarkan laporan dari BKPH, KPH membentuk tim pemeriksaan/identifikasi.
4. Bersama Puslitbang SDH tim pemeriksa melakukan pemeriksaan dan identifikasi gejala dan tanda serangan hama dan penyakit dengan cara :

a) Mengenali bentuk kerusakan pada tanaman yang terserang

Ø Kerusakan oleh penyakit tanaman lebih berisifat fisiologis, kemunduran aktifitas seluler yang secara visual ditunjukkan oleh perubahan morfologi tanaman inang (gejala) seperti : klorosis daun, layu pucuk, bercak daun, busuk pangkal batang, busuk akar dan lainnya. Dengan demikian organ-organ tanaman seperti daun, ranting, batang dan akar tanaman umumnya utuh tanpa kerusakan fisik-mekanik.

Ø Kerusakan oleh hama umumnya bentuk kerusakan berupa kerusakan/hilangnya bagian-bagian fisik tanaman secara jelas, akibat aktifitas serangga hama dalam mencari makanan, seperti akar muda putus bekas gerekan serangga, batang berlubang bekas gerekan serangga, daun rusak bekas aktifitas serangga. Namun demikian ada tipe kerusakan oleh serangan hama yang tidak menunjukkan adanya kerusakan fisik-mekanik organ tanaman, kerusakan yang nampak sekilas mirip kerusakan oleh penyakit tanaman.

b) Mengenali bentuk organisme penyebab kerusakan

Ø Langkah selanjutnya setelah mengenali bentuk kerusakan adalah mengamati penyebab spesifik jenis hama atau penyakit yang menyerang tanaman. Umumnya lebih mudah dikenali pada saat pengamatan lapangan dilakukan. Pengenalan jenis serangga yang menyerang dilakukan dengan mengamati serangga hama, sisa-sisa sekresi dan sekresi serangga.

Ø Kelompok serangga-serangga yang banyak menyebabkan kerusakan tanaman kehutanan antara lain : ordo Orthoptera (belalang), Coleoptera (kumbang bersayap keras), Lepidoptera (ulat), Isoptera (rayap), Hymenoptera (kelompok lebah dan tabuh-tabuhan) dan Hemi-homoptera (kelompok serangga pencucuk pengisap). Kelima ordo pertama menyebabkankerusakan fisik-mekanik secara nyata. Sedangkan ordo Hemi-homoptera tidak menunjukkan bentuk kerusakan fisik-mekanik organ tanaman, sehingga secara sekilas bentuk kerusakan mirip gejala penyakit.

Ø Penyebab spesifik kerusakan oleh penyakit memerlukan langkah identifikasi lebih rumit dan lama. Gejala kerusakan yang disebabkan penyakit biotik maupun abiotik secara visual sama. Penyakit biotik di hutan antara lain disebabkan jamur patogen, bakteri patogen dan virus. Identifikasi secara umum penyebab kerusakan akan mudah dilakukan bilamana dapat dijumpai tanda-tanda penyakit (tubuh buah, hifa dan spora dari kelompok jamur serta lendir pada jaringan xylem pada kasus serangan layu bakteri).

Ø Adapun faktor abiotik di lapangan antara lain disebabkan oleh defisiensi hara (lahan kritis), defisiensi air (musim kemarau panjang) dan drainase buruk. Untuk mengenali faktor abiotik dilakukan dengan mengumpulkan informasi tentang curah hujan, pengamatan kondisi lahan (kondisi solum tanah, bentuk topografi lahan) dan lain-lain.

5. Kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan intensitas serangan. Kegiatan ini dengan cara membuat petak ukur (PU) dengan bentuk lingkaran dengan jari-jari (r) 17,8 m atau sensus.

6. Berdasarkan hasil identifikasi, disusun BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang berisi intensitas serangan dan rekomendasi pengendaliannya.

7. Pengambilan foto/dokumentasi

Pengambilan dokumentasi dilakukan sebagai bukti visual dan sebagai bahan penelahaan bagi solusi penanganannya.

B. Analisa Terhadap Tempat Tumbuh dan Lingkungan

1. Analisa tempat tumbuh dan pengambilan sampel tanah

Data-data yang diperlukan guna analisa tergantung keperluan arah analisa yang akan dilakukan. Secara umum informasi yang perlu dikumpulkan antara lain data curah hujan, temperatur, pengamatan kondisi lahan (kondisi solum tanah, topografi dan lain-lain). Analisa tempat tumbuh untuk mengetahui kondisi drainase, aerasi pH dan bila memungkinkan mengetahui kandungan unsur hara tanah untuk mengetahui kemungkinan adanya defiesiensi hara atau air.

2. Pengambilan sampel tanaman/bagian tanaman

Pengambilan sampel tanaman atau bagian tanaman diperlukan guna melakukan pengamatan dan identifikasi yang lebih spesifik atau mengetahui organisme perusaknya. Identifikasi bisa menggunakan dasar literatur yang ada ataupun melakukan konsultasi dengan ahli atau instansi terkait.

C. Studi Literatur Untuk Kajian Pembanding

Studi literatur diperlukan sebagai pembanding guna lebih memantapkan langkah-langkah yang akan diambil. Studi literatur disarankan untuk mengkaji lebih dari 2 sumber literatur guna memperkaya sudut pandang.

D. Penyusunan Rekomendasi Pemberantasan Hama dan Penyakit

Rekomendasi pengendalian dengan 3 pilihan :

a. Pemeliharaan bila dikarenakan faktor abiotik

b. Pemberantasan (lihat bab berikutnya)

c. Tebangan D2 hama dan penyakit

Ø Berdasarkan hasil rekomendasi dari BAP, maka KPH membuat usulan suplisi RTT pemeliharaan/pemberantasan HPT dan atau tebangan D2 penyakit ke SPH untuk mendapatkan pertimbangan dan selanjutnya untuk mendapat pengesahan dari Biro Perencanaan Unit..

Ø Bersamaan dengan itu, KPH mengajukan usulan otoritas anggaran kepada Biro Pembinaan dan Konservasi yang selanjutnya mendapatkan pengesahan anggaran.

PEMBERANTASAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN

A. Secara Fisik Mekanik

Pembasmian hama dan penyakit secara fisik dapat dilakukan melalui:

1. Pemangkasan lokal ; bagian tanaman yang terserang dipotong atau dipangkas, hasil pangkasan kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang terbuka dan aman, lalu dilakukan pembakaran.

2. Dicabut ; jika tanaman yang diserang dalam ukuran kecil (umur < 5 tahun atau bibit di persemaian) dan hampir semua bagian tanaman terserang maka tanaman tersebut di cabut sampai ke akarnya kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang terbuka dan aman lalu di bakar. 3. Ditebang ; jika intensitas serangan tinggi (hampir semua bagian tanaman diserang/>70 % bagian tanaman diserang) atau sudah sangat parah dan tanaman berumur lebih dari 5 tahun, maka dilakukan tebangan D2 penyakit. Prosedur penebangan mengikuti prosedur tebangan yang sudah ada.

4. Dalam kegiatan pemangkasan dan penebangan harus memperhatikan aspek keselamatan kerja dengan mengacu pada prosedur kerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang sudah ada.

5. Penghalang isolasi adalah daya upaya yang dijalankan untuk mencegah penyebaran hama dan penyakit tanaman berdasarkan peraturan perundang-undangan

6. Pemberian abu kayu pada serangan rayap

7. Perlakuan panas

Pembasmian hama dan penyakit secara mekanik dapat dilakukan melalui:

1. Pengambilan menggunakan tangan. Dapat dilakukan pada jenis hama ulat dan belalang, dengan intensitas serangan hama dalam skala kecil.

2. Penangkapan bersama-sama oleh banyak orang (gropyokan-Jawa) pada hama belalang.

3. Pemasangan perangkap antara lain ;

o Penggunaan lampu perangkap (light trap) untuk hama penggerek batang pada fase kupu-kupu. Lampu perangkap ini dipasang pada saat malam hari, peralatan yang diperlukan berupa : kain putih 2 x 1,5 m, lampu bohlam/neon, dan nampan penampung air. Kupu/ngengat yang diperoleh kemudian dimusnahkan.

§ Penggunaan perangkap kertas warna (colour trapping) untuk hama lalat putih. Warna kertas yang digunakan bisa berwarna kuning atau lainnya yang cerah. Kertas terlebih dahulu diberi lem perekat atau racun tikus atau ter agar hama terperangkap pada kertas tersebut.

B. Penggunaan Pestisida

1. Biopestisida/Pesticida organik

Penggunaan pestisida organik dapat berupa bakterisida atau insektisida yang disesuaikan dengan jenis hama dan penyakit dan sesuai dengan dosis yang dianjurkan (sesuai Lampiran buku petunjuk pengendalian hama dan penyakit). Beberapa contoh tanaman yang bisa digunakan sebagai pesticida misalnya daun mimbo, mahoni, gadung, tembakau, daun sirsak dan sebagainya. Atau jika dalam keadaan yang sangat memaksa bisa menggunakan pestisida kimia dengan catatan penggunaannya harus mengacu pada prosedur kerja Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang sudah ada. Contoh-contoh pestisida organik dan cara pembuatannya sesuai Lampiran 3.

2. Pestisida kimia

Penggunaan pesticida kimia harus diminimalisir. Jika atas pertimbangan ekologi dan social terpaksa harus menggunakan pesticida kimia, maka pemilihan jenis pestisidanya harus yang tidak dilarang oleh FSC, WHO maupun peraturan perundangan yang lainnya serta menggunakan prosedur keamanan dan keselamatan sesuai dengan Lembar data keselamatan bahan masing-masing (lihat MSDS). Beberapa jenis pesticida kimia yang beredar di Indonesia terlampir (Lampiran 2). Penggunaan pestisida dalam pemberantasan hama dan penyakit dapat dilakukan dengan beberapa cara :

a) Dioleskan/bacok oles; cara ini digunakan untuk jenis pesticida sistemik, contoh untuk pemberantasan hama penggerek batang atau penggerek pucuk. Aplikasinya dengan membuat lubang pada batang dengan paku kemudian cairan insektisida dimasukkan ke lubang atau melukai kulit batang sampai dengan bagian luar kayu gubal (jaringan sebelah dalam jaringan kambium), kemudian insektisida dioleskan dengan kuas atau disemprotkan ke bekas bacokan. Selanjutnya insektisida akan diangkut melalui jaringan gubal ke bagian batang atas.

b) Ditabur pada tanah atau di campur dengan media tanam atau media semai. Cara ini digunakan untuk jenis pestisida berwujud granular (kode G dalam kemasan).

c) Disemprot langsung pada target hama/penyakit. Cara ini digunakan untuk jenis pestisida racun kontak atau racun lambung yang memiliki kode SC, WP, EC.

d) Fumigasi; cara ini digunakan untuk jenis-jenis pestisida fumigan. Contohnya untuk memberantas oleng-oleng dalam fase larva. Caranya dengan memasukan insektisida fumigan pada lubang gerek kemudian lubang ditutup malam.

Cara penggunaan bergantung jenis hama yang menyerang dan kondisi tanaman yang diserang.

C. Musuh Alami

Penggunaan musuh alami dengan pengendalian biologis yaitu penggunaan serangga atau bakteri dalam pengendalian hama secara innundative (pelepasan musuh alami secara berulang dengan jenis lokal) dan klasikal (pelepasan musuh alami secara tidak berulang dengan jenis eksotik). Musuh alami kita pilih musuh alami yang paling dekat dengan target hama, kita pilih yang terbatas/lebih sedikit sehingga tidak akan menyerang di luar target. Penggunaan musuh alami harus mengacu pada aturan penggunaan kontrol biologi.

Penciptaan musuh alami juga dibarengi dengan penciptaan habitat hidup bagi predator alami tersebut misalnya penanaman pohon atau tegakan sebagai tempat bersarang atau penghasil biji makanan predator. Secara umum prinsip penggunaan musuh alami tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem yang ada.

PENGELOLAAN PASCA PENGENDALIAN

A. Pengumpulan Data Dan Informasi Kerusakan

Sebagai bahan evaluasi diperlukan pengumpulan data lebih lanjut terkait dengan jumlah pohon dan volume pohon per m³ serta analisa tingkat kerugiannya. Juga dilakukan pemetaan lokasi yang diserang dengan peta kerja skala 1 :10000.

B. Sanitasi Lokasi Bekas Serangan Hama Dan Penyakit

Sanitasi lokasi bekas serangam dilakukan guna lebih menjamin bahwa pada lokasi tersebut sudah benar-benar bersih dari sumber dan faktor-faktor yang dapat menstimulasi berkembang kembali hama dan penyakit. Sanitasi dapat dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut :

a. Pembakaran Tumbuhan Bawah

Pada proses pembakaran tumbuhan bawah diharuskan untuk membuat sekat bakar/ilaran api dengan menggunakan sekat bakar alami (menggunakan tanaman yang dapat menahan api)

b. Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

· Pengolahan tanah tetap mempertahankan kesuburan tanah

· Peralatan yang digunakan tidak merusak tanah

· Pembersihan areal dilakukan dengan tujuan mengurangi sumber hama.

C. Rehabilitasi

Kegiatan rehabilitasi ditujukan untuk kembali memulihkan kondisi sumberdaya hutan seperti pada kondisi semula. Kegiatan rehabilitasi dilakukan dengan penggunaan bibit unggul, pemilihan jenis tanaman yang sesuai dengan arealnya, dan penggunaan jenis tanaman resisten dengan penjelasan sebagai berikut :

Pemilihan bibit yang sehat

· Pemilihan bibit yang sehat sangat penting dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap HPT yang dicirikan dengan batang kuat, daun segar (hijau dan tidak berlubang), fisik tidak tampak adanya serangan bakteri patogen dan lain-lain.

· Pengolahan tanah

Pengolahan tanah bertujuan untuk menciptakan tingkat aerasi yang baik yang berguna bagi tanaman pokok dan menciptakan lingkungan yang tidak nyaman bagi hama dan penyakit.

Pengolahan tanah dapat dilakukan dengan menambahkan pupuk sehingga kandungan humus akan meningkat. Dengan demikian kemampuan tanah untuk mengikat air menjadi tinggi dan tanah menjadi tidak mudah kering. Pengaturan drainase untuk menciptakan sistem tata air mikro yang dapat menciptakan drainase yang baik sehingga tingkat kelembaban pada kondisi yang tidak dapat atau menghambat tumbuh dan berkembangnya hama dan penyakit.

· Pemilihan jenis yang tepat

Jenis tanaman dengan sifat resisten terhadap serangan hama dan penyakit dapat diperoleh secara karakter alami atau dengan penerapan bioteknolgi berupa pemuliaan pohon. Setiap spesies atau varietas mempunyai mekanisme pertahanan terhadap hama dan penyakit yang berbeda. Pemilihan jenis yang resisten ini bukan bertujuan untuk menghilangkan hama sama sekali karena hama juga mempunyai mekanisme evolusi tersendiri untuk beradaptasi, tetapi minimal dapat menekan laju perkembangan hama dan penyakit.

Pemilihan jenis yang tepat dapat dilakukan dengan pengamatan umum tegakan yang telah lama tumbuh di tempat (indigenous trees) dengan mempertimbangkan aspek lain tentu saja. Panaman jenis eksotis harus dicampur dengan jenis lokal guna meminimalisir dampak serangan hama dan penyakit.

· Pengaturan pola tanam dan jarak tanam

Pengaturan pola tanam terkait dengan hama dan penyakit ditujukan untuk menciptakan tingkat kelembaban tanah yang tidak terlalu tinggi. Pola tanam tumpangsari dapat mendukung berkembang biaknya hama dan penyakit jika tidak tepat dalam pemilihan jenisnya. Pengaturan pola tanam dan jarak tanam disesuaikan dengan jenis tanaman. Pengaturan jenis tumpangsari, perlu dipilih jenis tanaman tumpangsari yang tidak mensyaratkan penggenangan air/tanah dan selalu lembab. Apabila kondisi lahan cenderung lembab agar diupayakan penggantian jenis non jati yang toleran terhadap kelembaban tanah yang tinggi.

D. Monitoring dan Evaluasi

Untuk mengetahui efektifitas dari upaya pemberantasan mendapatkan data pengamatan dari upaya penanggulangan yang dilakukan, dilakukan pengamatan periodik pada lokasi yang pernah terserang hama dan penyakit dibuat plot pengamatan permanen yang terdiri atas berbagai perlakuan yang diterapkan

Monitoring dilakukan satu bulan sekali/penilaian kondisi tanaman dilakukan sebelum pembuatan maupun secara berkala setelah aplikasi perlakuan sangat penting dilakukan.

KESIMPULAN

Pengendalian hama dan penyakit pada hutan tanaman yang menerapkan sistem monokultur harus dikelola dengan baik. Pemilihan teknik pengendalian yang tepat sesuai dengan jenis hama dan penyakit yang menyerang akan menentukan keberhasilan dan efectivitas pengendalian, dan untuk mengetahui jenis hama dan penyakit yang menyerang perlu dilakukan identifikasi gejala dan atau tanda serta kondisi lingkungan yang mendukung.

Pemilihan teknik pengendalian harus mempertimbangkan aspek lingkungan, social dan ekonomi. Sehingga penerapan pengendalian hama penyakit terpadu adalah lebih baik, dan penggunaan pestisida kimia harus diminimalkan. Dan jika dengan terpaksa harus menggunakan pestisida kimia maka aspek keamanan dan keselamatan harus diterapkan serta tidak menggunakan jenis pestisida kimia yang dilarang digunakan di dalam kawasan hutan yang bersertifikasi FSC.

DAFTAR PUSTAKA

Hendromono dkk. 2001. Mindi Melia azerdarach L. Balitbang Kehutanan Departemen Kehutanan. Jakarta

Nair, KSS. 2001. Pest Outbreaks In Tropical Forest Plantation. CIFOR. Bogor

Nair, KSS. 2000. Insect Pests And Diseases In Indonesia Forest. CIFOR. Bogor

Priyanto, Hari. 1999. Survey Of Entofauna with Emphasis On Pest In Teak (Tectona grandis L.f) In Central Java And East Java, Indonesia. Thesis. Gottingen, Germany

Pusat Penelitian & Pengembangan Perum Perhutani. 2007. Prosiding Hasil Penelitian dan Pengembangan. Puslitbang SDH Perhutani. Cepu

Pusat Penelitian & Pengembangan Perum Perhutani. 2008. Seri Informasi Teknik Pengendalian Hama-Penyakit Tanaman Hutan (Jati, Pinus, Kayu Putih, Sengon). Pusat Penelitian & Pengembangan Perum Perhutani. Cepu.
Baca SelengkapnyaBahan perlindungan hutan (Pengendalian penyakit tanaman kehutanan)